AGAMA CINTA; PERAN SOSIAL AGAMA DAN ETIKA AL-QUR’AN
Penulis: Yurid Shifan A’lal Firdaus, S.Ag (Waka. Bidang Al-Qur'an MA Alif Laam Miim Surabaya)
Setelah beberapa chapter Ngaji Terma sebelumnya mengulas tentang sejarah, di chapter 11 ini menilik pembangunan peradaban melalui peran sentral agama. Sebelum masuk kepada pembahasan isi buku, mengetahui biografi singkat sang penulis adalah bagian tidak terpisahkan agar lebih efektif memahami pola pikir ilmiah yang disuguhkan oleh sang penulis buku.
Ialah Prof. Komaruddin Hidayat,
cendekiawan Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Islam
Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat. Prof. Komar begitulah beliau
dipanggil merupakan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah yang sangat produktif
menyebarkan pemikiran pembaharuannya melalui berbagai forum dan karya tulis.
Semangat literasinya telah terbangun sejak beliau menjadi santri dan berlanjut
hingga masa kuliah dengan aktif sebagai seorang jurnalis.
Sanad keilmuwannya dalam studi
Islam sangat dipengaruhi oleh 2 tokoh pembaharu Islam Indonesia, yaitu Harun
Nasution dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sehingga hal wajar jika Prof Komar
memiliki sepak terjang sebagaimana sang guru.
Etika Al-Qur’an; Salih
Ritual, Salih Sosial
Sebagai pembuka menuju
pemahaman terhadap peran sosial agama, Al-Qur’an sedari awal telah menarasikan
2 relasi integral manusia, yaitu relasi vertikal (hablum min Allah) yang
bersifat ritual-spiritual dan relasi horizontal (hablum min an-nas) yang
bersifat praktikal-sosial. Kedua relasi ini tidak dapat dipisahkan dan berjalan
independen. Al-Qur’an selalu menyandingkan kata iman dan amal salih, karena
iman adalah akar sedang amal salih adalah buahnya. Iman bersifat transedental
sehingga tidak dapat diukur oleh neraca matematis, oleh karenanya abstraksi
iman membutuhkan visualisasi bernama amal salih.
Tidak dibenarkan orang mengaku
beriman namun perilakunya kepada sesama tidak baik. Tidak pula orang yang
berperilaku baik memilih tidak beriman. Iman dan amal salih laksana dua sisi
mata uang yang harus terinternalisasi dalam setiap pribadi umat muslim. Gus Mus
(KH. Mustofa Bisri) menjelaskan lebih lanjut bahwa umat muslim harus memiliki 2
kesalihan, yaitu salih ritual dan salih sosial. Atribut tersebut kemudian
berkembang seiring era disrupsi saat ini sehingga Habib Husein Ja’far al-Hadar
menambahkan umat muslim juga harus salih media sosial, karena hampir sebagian
besar waktu kita dihabiskan dalam jaringan (online).
Sinergi Antara Agama, Sains,
dan Sosial
Prof Komaruddin Hidayat
mengutip pandangan marxisian bahwa umat beragama mengalami mising
perspective dalam memahami dan menilai problematika kehidupannya, dimana
persoalan saintifik dan sosial tidak dapat sepenuhnya dilimpahkan kepada agama,
karena disiplin keilmuwannya berbeda. Dalam bahasa yang lebih sederhana dan
contoh di sekitar kita, orang yang sakit secara medis harus diobati dengan obat
atau jamu bukan didoakan saja. Orang yang ingin mendapatkan sesuatu, maka ia
harus berusaha, jangan hanya menunggu.
Paradigma marxisian memiliki
kemiripan dengan teologi fatalistik (Madzhab Jabariyah) dan teologi free
will (Madzhab Qadariyah), namun lebih menyoalkan peran agama yang disalah
pahami oleh umat beragama. Oleh karenanya Prof Komar membagai 3 pilar utama
keilmuwan, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu agama. Pertama, ilmu
agama bersifat universal misalnya 1+1 dimanapun jawabannya adalah 2, hukumnya
berlaku menyeluruh (general). Kedua, ilmu sosial bersifat intersubyektif
yang berasal dari konsensus lokal suatu kelompok masyarakat sehingga bentuk
sosial budaya di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Ketiga,
ilmu agama bersifat eksklusif (tertutup) bagi umat agama masing-masing.
Perbedaan ruang lingkup kajian
antara sains-matemathic, sosial, dan agama menurut hemat penulis bukan berarti
menutup ruang sinergi dan integrasi. Prof Komar memberika contoh dalam sejarah
peradaban umat manusia telah dibangun beragam masjid, gereja, kuil, vihara,
klenteng, dan tempat ibadah lainnya menunjukkan bahwa agama ikut serta dalam
mengisi peradaban. Jika tidak, saat ini kita tidak mungkin dapat beribadah di
depan ka’bah, melihat keindahan baitul maqdis, menyaksikan kemegahan piramida,
Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lokasi bersejarah lainnya.
Dalam proses pembangunan
tempat-tempat ibadah dibutuhkan sebuah perencanaan, perhitungan, dan
pelaksanaan yang membutuhkan keilmuwan sains dan matematika. Di lain sisi
proses dari awal hingga akhir pembangunannya membutuhkan banyak pihak untuk
membantu, semua orang terikat dalam keyakinan yang sama (agama) dan dikumpulkan
dalam ikat sosial karena persamaan latar belakang kebudayaan. Dari contoh ini
kita bisa melihat sinergi antara agama, sains, dan sosial dalam mengisi
peradaban yang masih eksis hingga sekarang.
Beragama dengan Being
Mode
Buku Agama untuk Peradaban
merupakan kompilasi tulisan Porf Komar di berbagai surat kabar yang direformasi
menjadi esai agar terlepas dari batas waktu (timeless) dan relevan
dibaca kapanpun. Salah satu bab yang dibahas dalam Ngaji Terma 11 adalah
tentang agama, khususnya perannya dalam interaksi sosial. Prof Komar mengutip
buku Eric Fromm yang berjudul To Have or To Be untuk menjelaskan
fenomena beragama yang beliau sebut dengan have religion but not being
religious, memeluk agama tapi tidak beragama dengan baik.
Penjelasan Erif Fromm memang
general berlaku terhadap berbagai fenomena keseharian bahwa memiliki sesuatu
bukan berarti mencerminkan esensi dari kepemilikannya. Misal yang diberikan
oleh Prof Komar, seseorang bisa memiliki istri/suami tapi belum tentu dia
menjadi seorang suami/istri yang baik. Seseorang bisa memiliki jabatan tapi
belum tentu ia menjadi seorang pemimpin yang baik.
Suami/istri dan kepemimpinan
adalah kepemilikan bukan kepribadian, keduanya berbeda, untuk menerapkan
keduanya seseorang harus berada dalam 2 mode, having mode dan being
mode. Having mode aadalah pada saat seseorang memiliki sesuatu, sebaliknya Being
mode adalah pada saat seseorang dalam mencerminkan karakter esensial dari
apa yang ia miliki. Dalam beragama pun demikian, seorang muslim meyakini Islam
sebagai Agama yang paling benar dan dapat mengantarkannya kepada kebahagia
dunia dan akhirat, namun mode berikutnya umat Islam harus mencerminkan esesni
ajaran Islam dalam setiap perilakunya yang menjadi rahmat bagi dirinya,
keluarganya, sosialnya, negaranya, dan semesta.
Gagasan yang dicetuskan oleh
Eric Fromm ini seolah menunjukkan sisi paradoksal manusia yang hanya “memiliki”
tapi tidak “menjadi”. Fenomena kikinian telah terjadi dimana banyak di antara
kita yang mengaku taat beragama, menggunakan atribut agamis dalam kondisi
apapun, Masjid adalah tempat favorit, dan ragam ritual-spiritual lainnya namun
dalam perilakunya kepada sesama ia belum menjadi seorang muslim yang baik,
sehingga yang muncul bukan akhlaq Al-Qur’an, tapi Fir’aunisme, Namrudisme, dan
isme superioritas yang semu.
Dengan implementasi 2 relasi
(vertikal-horizontal) dan internalisasi ajaran Islam (being mode), umat
Islam dapat meneguhkan visi utama Islam yang tidak hanya rahmatan lil
muslimin, tapi rahmatan lil ‘alamin. Berbuat baik bukan hanya kepada
saudara seiman, sebagaimana Rasulullah begitu baik kepada umat agama lain dalam
hal sosial. Umat Islam memang harus eksklusif (tertutup) dalam keimanan, namun
harus inklusif (terbuka) dalam berhubungan sosial.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib
pernah menyampaikan bahwa jika mereka bukan saudaramu dalam keimanan, mereka
tetap saudaramu dalam kemanusiaan. Menyampaikan cinta kasih tidak dibatasi oleh
batas apapun karena ia lintas agama dan lokalitas lainnya, sebagaimana dawuh
Mbah Kiai Wahab Hasbullah, salah satu The Founding Father Nahdlatul
Ulama menyebutkan 3 persatuan (ukhuwah), yaitu persatuan seagama Islam (ukhwah
islamiyah), persatuan senegara (ukhwah wathaniyah), dan persatuan
sesama manusia (ukhwah basyariyah).
Prof Komar memberikan distingsi
antara Cinta dan Kasih Sayang yang sering kali disamakan (sinonimitas). Cinta
dalam bahasa Arab disebut mawaddah sedang kasih sayang disebut rahmah.
Cinta muncul dalam kalimat “Aku mencintainya, karena....”, sebaliknya kasih
sayang muncul dalam pernyataan “Aku mencintainya, walaupun....”. Dalam 2
pernyataan tadi kita bisa melihat letak perbedaannya, yaitu cinta berdiri atas
alasan dan kasih sayang berdiri atas penerimaan adalah 2 hal yang tidak bisa
disamakan. Karena cinta akan sirna seiring berkurang dan menghilangnya suatu
alasan ia mencintai, berbeda dengan kasih sayang yang akan terus semakin
menguat bersamaan dengan semua penerimaan hati kepada sesuatu yang ia kasihi.
Oleh karenanya dalam ikatan
pernikahan, sebuah doa yang lazim dipanjatkan adalah agar keduanya terbina
dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sebuah
doa yang berasal dari visi pernikahan dalam Al-Qur’an bahwa seorang suami-istri
diawal harus membangun cinta dengan semua alasan yang mereka miliki (fisik,
keturunan, finansial, dan agama), namun setelahnya mereka harus saling menerima
lebih dan kurang keduanya.
Persoalan cinta dan kasih
sayang dapat lebih jauh kita lanjutkan terhadap hubungan vertikal kepada Allah
Swt. Ada dawuh Syekh Abu Yazid al-Bustomi yang dapat menggetarkan hati tentang
hubungan cinta kita dengan Allah, “Aku baru sadar, kukira aku bisa
mencintai-Nya. Ternyata cintaku kepada-Nya selama ini akibat cinta-Nya
kepadaku.” Betapa besar dan unlimited kasih sayang Allah kepada manusia,
mulai dari anugerah kehidupan seperti oksigen, energi, dan ekosistem. Terlebih
kita yang tinggal di Indonesia ini, secuil rahmat Allah telah menjadi sekeping
tanah surga di bumi Nusantara.
Anugerah keluarga, sahabat,
mitra kerja, ilmu pengetahuan, ikhtiar, kebahagiaan adalah rahmat Allah dalam
berbagai bentuknya dalam kehidupan kita. Sehingga bisa jadi alasan kita
beribadah bukan hanya karena mencintai Allah, tapi karena ingin bersaama Allah
dalam ikatan saling mencintai. Allah mencintai kita dengan memberikan anugerah,
sedang kita mencintai Allah dalam semua bentuk ibadah, ibadah ritual, sosial,
dan saat ini dalam bermedia sosial.
Penutup
Di
bagian akhir diskusi, ada seorang santri bertanya sejak kapan Allah mencintai
manusia. Mungkin jawaban yang sementara bisa saya jawab adalah sejak Allah
menciptakan kekasih-Nya yang menjadi sebab terciptanya kita dan alam semesta
ini, yaitu Nur Muhammad. Akhirnya, agama Islam adalah agama cinta yang telah
termanifestasi dalam bentuk cinta Allah kepada Nabi Muhammad (Nur Muhammad),
cinta Allah kepada alam semesta termasuk manusia, cinta Nabi Muhammad kepada
semesta termasuk umat Islam, maka seyogyanya kita berusaha semaksimal mungkin
meneruskan cinta Allah dan Rasulullah kepada saudara seagama, senegara, sesama
manusia, dan semua makhluk, untuk menjaga cinta Allah untuk kita dan jagat
raya. Wallahu a’lam.
Tags : Artikel Guru
MA Alif Laam Miim
“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”
- MA Alif Laam Miim
- Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
- maaliflaammiim@gmail.com
- 0813-8645-3684