Januari 17, 2023

AGAMA CINTA; PERAN SOSIAL AGAMA DAN ETIKA AL-QUR’AN

 
 

Penulis: Yurid Shifan A’lal Firdaus, S.Ag (Waka. Bidang Al-Qur'an MA Alif Laam Miim Surabaya)

Setelah beberapa chapter Ngaji Terma sebelumnya mengulas tentang sejarah, di chapter 11 ini menilik pembangunan peradaban melalui peran sentral agama. Sebelum masuk kepada pembahasan isi buku, mengetahui biografi singkat sang penulis adalah bagian tidak terpisahkan agar lebih efektif memahami pola pikir ilmiah yang disuguhkan oleh sang penulis buku.

Ialah Prof. Komaruddin Hidayat, cendekiawan Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat. Prof. Komar begitulah beliau dipanggil merupakan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah yang sangat produktif menyebarkan pemikiran pembaharuannya melalui berbagai forum dan karya tulis. Semangat literasinya telah terbangun sejak beliau menjadi santri dan berlanjut hingga masa kuliah dengan aktif sebagai seorang jurnalis.

Sanad keilmuwannya dalam studi Islam sangat dipengaruhi oleh 2 tokoh pembaharu Islam Indonesia, yaitu Harun Nasution dan Nurcholis Madjid (Cak Nur), sehingga hal wajar jika Prof Komar memiliki sepak terjang sebagaimana sang guru.

Etika Al-Qur’an; Salih Ritual, Salih Sosial

Sebagai pembuka menuju pemahaman terhadap peran sosial agama, Al-Qur’an sedari awal telah menarasikan 2 relasi integral manusia, yaitu relasi vertikal (hablum min Allah) yang bersifat ritual-spiritual dan relasi horizontal (hablum min an-nas) yang bersifat praktikal-sosial. Kedua relasi ini tidak dapat dipisahkan dan berjalan independen. Al-Qur’an selalu menyandingkan kata iman dan amal salih, karena iman adalah akar sedang amal salih adalah buahnya. Iman bersifat transedental sehingga tidak dapat diukur oleh neraca matematis, oleh karenanya abstraksi iman membutuhkan visualisasi bernama amal salih.

Tidak dibenarkan orang mengaku beriman namun perilakunya kepada sesama tidak baik. Tidak pula orang yang berperilaku baik memilih tidak beriman. Iman dan amal salih laksana dua sisi mata uang yang harus terinternalisasi dalam setiap pribadi umat muslim. Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) menjelaskan lebih lanjut bahwa umat muslim harus memiliki 2 kesalihan, yaitu salih ritual dan salih sosial. Atribut tersebut kemudian berkembang seiring era disrupsi saat ini sehingga Habib Husein Ja’far al-Hadar menambahkan umat muslim juga harus salih media sosial, karena hampir sebagian besar waktu kita dihabiskan dalam jaringan (online).

Sinergi Antara Agama, Sains, dan Sosial

Prof Komaruddin Hidayat mengutip pandangan marxisian bahwa umat beragama mengalami mising perspective dalam memahami dan menilai problematika kehidupannya, dimana persoalan saintifik dan sosial tidak dapat sepenuhnya dilimpahkan kepada agama, karena disiplin keilmuwannya berbeda. Dalam bahasa yang lebih sederhana dan contoh di sekitar kita, orang yang sakit secara medis harus diobati dengan obat atau jamu bukan didoakan saja. Orang yang ingin mendapatkan sesuatu, maka ia harus berusaha, jangan hanya menunggu.

Paradigma marxisian memiliki kemiripan dengan teologi fatalistik (Madzhab Jabariyah) dan teologi free will (Madzhab Qadariyah), namun lebih menyoalkan peran agama yang disalah pahami oleh umat beragama. Oleh karenanya Prof Komar membagai 3 pilar utama keilmuwan, yaitu ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu agama. Pertama, ilmu agama bersifat universal misalnya 1+1 dimanapun jawabannya adalah 2, hukumnya berlaku menyeluruh (general). Kedua, ilmu sosial bersifat intersubyektif yang berasal dari konsensus lokal suatu kelompok masyarakat sehingga bentuk sosial budaya di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Ketiga, ilmu agama bersifat eksklusif (tertutup) bagi umat agama masing-masing.

Perbedaan ruang lingkup kajian antara sains-matemathic, sosial, dan agama menurut hemat penulis bukan berarti menutup ruang sinergi dan integrasi. Prof Komar memberika contoh dalam sejarah peradaban umat manusia telah dibangun beragam masjid, gereja, kuil, vihara, klenteng, dan tempat ibadah lainnya menunjukkan bahwa agama ikut serta dalam mengisi peradaban. Jika tidak, saat ini kita tidak mungkin dapat beribadah di depan ka’bah, melihat keindahan baitul maqdis, menyaksikan kemegahan piramida, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lokasi bersejarah lainnya.

Dalam proses pembangunan tempat-tempat ibadah dibutuhkan sebuah perencanaan, perhitungan, dan pelaksanaan yang membutuhkan keilmuwan sains dan matematika. Di lain sisi proses dari awal hingga akhir pembangunannya membutuhkan banyak pihak untuk membantu, semua orang terikat dalam keyakinan yang sama (agama) dan dikumpulkan dalam ikat sosial karena persamaan latar belakang kebudayaan. Dari contoh ini kita bisa melihat sinergi antara agama, sains, dan sosial dalam mengisi peradaban yang masih eksis hingga sekarang.

Beragama dengan Being Mode

Buku Agama untuk Peradaban merupakan kompilasi tulisan Porf Komar di berbagai surat kabar yang direformasi menjadi esai agar terlepas dari batas waktu (timeless) dan relevan dibaca kapanpun. Salah satu bab yang dibahas dalam Ngaji Terma 11 adalah tentang agama, khususnya perannya dalam interaksi sosial. Prof Komar mengutip buku Eric Fromm yang berjudul To Have or To Be untuk menjelaskan fenomena beragama yang beliau sebut dengan have religion but not being religious, memeluk agama tapi tidak beragama dengan baik.

Penjelasan Erif Fromm memang general berlaku terhadap berbagai fenomena keseharian bahwa memiliki sesuatu bukan berarti mencerminkan esensi dari kepemilikannya. Misal yang diberikan oleh Prof Komar, seseorang bisa memiliki istri/suami tapi belum tentu dia menjadi seorang suami/istri yang baik. Seseorang bisa memiliki jabatan tapi belum tentu ia menjadi seorang pemimpin yang baik.

Suami/istri dan kepemimpinan adalah kepemilikan bukan kepribadian, keduanya berbeda, untuk menerapkan keduanya seseorang harus berada dalam 2 mode, having mode dan being mode. Having mode aadalah pada saat seseorang memiliki sesuatu, sebaliknya Being mode adalah pada saat seseorang dalam mencerminkan karakter esensial dari apa yang ia miliki. Dalam beragama pun demikian, seorang muslim meyakini Islam sebagai Agama yang paling benar dan dapat mengantarkannya kepada kebahagia dunia dan akhirat, namun mode berikutnya umat Islam harus mencerminkan esesni ajaran Islam dalam setiap perilakunya yang menjadi rahmat bagi dirinya, keluarganya, sosialnya, negaranya, dan semesta.

Gagasan yang dicetuskan oleh Eric Fromm ini seolah menunjukkan sisi paradoksal manusia yang hanya “memiliki” tapi tidak “menjadi”. Fenomena kikinian telah terjadi dimana banyak di antara kita yang mengaku taat beragama, menggunakan atribut agamis dalam kondisi apapun, Masjid adalah tempat favorit, dan ragam ritual-spiritual lainnya namun dalam perilakunya kepada sesama ia belum menjadi seorang muslim yang baik, sehingga yang muncul bukan akhlaq Al-Qur’an, tapi Fir’aunisme, Namrudisme, dan isme superioritas yang semu.

Islam Agama Cinta

Dengan implementasi 2 relasi (vertikal-horizontal) dan internalisasi ajaran Islam (being mode), umat Islam dapat meneguhkan visi utama Islam yang tidak hanya rahmatan lil muslimin, tapi rahmatan lil ‘alamin. Berbuat baik bukan hanya kepada saudara seiman, sebagaimana Rasulullah begitu baik kepada umat agama lain dalam hal sosial. Umat Islam memang harus eksklusif (tertutup) dalam keimanan, namun harus inklusif (terbuka) dalam berhubungan sosial.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan bahwa jika mereka bukan saudaramu dalam keimanan, mereka tetap saudaramu dalam kemanusiaan. Menyampaikan cinta kasih tidak dibatasi oleh batas apapun karena ia lintas agama dan lokalitas lainnya, sebagaimana dawuh Mbah Kiai Wahab Hasbullah, salah satu The Founding Father Nahdlatul Ulama menyebutkan 3 persatuan (ukhuwah), yaitu persatuan seagama Islam (ukhwah islamiyah), persatuan senegara (ukhwah wathaniyah), dan persatuan sesama manusia (ukhwah basyariyah).

Prof Komar memberikan distingsi antara Cinta dan Kasih Sayang yang sering kali disamakan (sinonimitas). Cinta dalam bahasa Arab disebut mawaddah sedang kasih sayang disebut rahmah. Cinta muncul dalam kalimat “Aku mencintainya, karena....”, sebaliknya kasih sayang muncul dalam pernyataan “Aku mencintainya, walaupun....”. Dalam 2 pernyataan tadi kita bisa melihat letak perbedaannya, yaitu cinta berdiri atas alasan dan kasih sayang berdiri atas penerimaan adalah 2 hal yang tidak bisa disamakan. Karena cinta akan sirna seiring berkurang dan menghilangnya suatu alasan ia mencintai, berbeda dengan kasih sayang yang akan terus semakin menguat bersamaan dengan semua penerimaan hati kepada sesuatu yang ia kasihi.

Oleh karenanya dalam ikatan pernikahan, sebuah doa yang lazim dipanjatkan adalah agar keduanya terbina dalam keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sebuah doa yang berasal dari visi pernikahan dalam Al-Qur’an bahwa seorang suami-istri diawal harus membangun cinta dengan semua alasan yang mereka miliki (fisik, keturunan, finansial, dan agama), namun setelahnya mereka harus saling menerima lebih dan kurang keduanya.

Persoalan cinta dan kasih sayang dapat lebih jauh kita lanjutkan terhadap hubungan vertikal kepada Allah Swt. Ada dawuh Syekh Abu Yazid al-Bustomi yang dapat menggetarkan hati tentang hubungan cinta kita dengan Allah, “Aku baru sadar, kukira aku bisa mencintai-Nya. Ternyata cintaku kepada-Nya selama ini akibat cinta-Nya kepadaku.” Betapa besar dan unlimited kasih sayang Allah kepada manusia, mulai dari anugerah kehidupan seperti oksigen, energi, dan ekosistem. Terlebih kita yang tinggal di Indonesia ini, secuil rahmat Allah telah menjadi sekeping tanah surga di bumi Nusantara.

Anugerah keluarga, sahabat, mitra kerja, ilmu pengetahuan, ikhtiar, kebahagiaan adalah rahmat Allah dalam berbagai bentuknya dalam kehidupan kita. Sehingga bisa jadi alasan kita beribadah bukan hanya karena mencintai Allah, tapi karena ingin bersaama Allah dalam ikatan saling mencintai. Allah mencintai kita dengan memberikan anugerah, sedang kita mencintai Allah dalam semua bentuk ibadah, ibadah ritual, sosial, dan saat ini dalam bermedia sosial.

Penutup

Di bagian akhir diskusi, ada seorang santri bertanya sejak kapan Allah mencintai manusia. Mungkin jawaban yang sementara bisa saya jawab adalah sejak Allah menciptakan kekasih-Nya yang menjadi sebab terciptanya kita dan alam semesta ini, yaitu Nur Muhammad. Akhirnya, agama Islam adalah agama cinta yang telah termanifestasi dalam bentuk cinta Allah kepada Nabi Muhammad (Nur Muhammad), cinta Allah kepada alam semesta termasuk manusia, cinta Nabi Muhammad kepada semesta termasuk umat Islam, maka seyogyanya kita berusaha semaksimal mungkin meneruskan cinta Allah dan Rasulullah kepada saudara seagama, senegara, sesama manusia, dan semua makhluk, untuk menjaga cinta Allah untuk kita dan jagat raya. Wallahu a’lam.

Tags :

bm

MA Alif Laam Miim

“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”

  • MA Alif Laam Miim
  • Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
  • maaliflaammiim@gmail.com
  • 0813-8645-3684