KONFLIK POLITIK DAN PERDEBATAN TEOLOGIS
KONFLIK POLITIK DAN PERDEBATAN TEOLOGIS
Ahmad Sarip Saputra, S.pd., M.Ag
A. Pendahuluan
Di kalangan pemikir Islam, telah sepakat bahwa pemerintahan yang ideal pasca wafatnya Rasulullah saw. terjadi di masa-masa Al-Khulafā’ Al-Rāsyidūn khususnya saat dipimpin oleh Khalifah Abū Bakar As-Shiddīq (11-13 H/632-634 M) dan Khalifah Umar ibn Khattāb (13-23 H/634-644 M). Konsep demokrasi yang dikemas dalam wadah syūra selalu dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pemerintahan sehingga syariat Islam dapat ditegakkan dengan baik dan masyarakat puas.
Keadaan seperti ini berjalan dengan baik hingga kepemimpinan Uthmān ibn Affān (23-35 H/644-656 M). Paruh pertama kekhalifahan Uthmān berjalan dengan baik dan stabil karena Uthmān banyak meneruskan kebijakan-kebijakan yang telah dijalankan semasa Khalifah Umar. Semakin lama permasalahan tak berkesudahan muncul sejak beliau memutuskan kebijakan-kebijakan –yang sebagian kalangan menilai— menguntungkan kerabat-kerabat terdekatnya dari kelompok Bani ‘Umayyah. Pemberontakan bermunculan dari berbagaia daerah hingga pada puncaknya sang khalifah dibunah oleh pemberontak dari Mesir yang tidak puas dengan kebijakan politiknya.
Periode Uthmān telah berakhir dan kekhalifahan berpindah ke tangan Ali ibn Abi Thālib. Namun Ali menerima warisan politik yang tidak setabil dan kacau. Tuntutan untuk mengadili kelompok yang memberontak sehingga berujung terbunuhnya Uthmān, bermunculan dari berbagai kalangan. Tuntutan itu bahkan datang dari sahabat-sahabat senior Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah. Diantara sahabat yang menuntut adalah Mu’āwiyah ibn Abī Shufyān, gubernur Syam, bahkan ia mengkalaim bahwa ia adalah wali Uthmān yang berhak menjadi khalifah keempat. Peperangan sesama umat Islam yang sangat merugikan tidak bisa dihindari pada periode ini, yaitu perang Jamal dan perang Shiffīn. Perang Shiffīn berujung tahkīm yang ditentang oleh sebagian pasukan Ali. Masa yang tidak setabil atau atas segala peristiwa tersebut telah melahirkan “partai-partai” atau terbentuknya “firqah-firqah” (sekte-sekte) dalam sejarah Islam.
Proses pencarian, saling curiga, dan tidak adanya rasa aman yang stabil adalah faktor yang membuat setiap kelompok membentuk opini masing-masing, berpikir untuk merumuskan teori-teori. Kemudian tidak berhenti sampai pada batas itu, bahkan setiap kelompok memobilisasi kekuatan diri dan membentuk kubu-kubu dalam rangka mewujudkan teori-teori tersebut dan mengaplikasikannya secara nyata dalam kehidupan realita.[1] Kelompok-kelompok itu diawali dengan munculnya kelompok Syī’ah (pengikut setia Ali) meski awalnya bukan sebuah entitas dan kelompok Khawārij (kelompok yang keluar dari barisan Ali). Selanjutnya lahir firqah Mu’tazilah, Murji’ah, Qādiriyah, Jabbāriyah dan Ash’aryyah (Ahlu al-Sunnah).
B. Pembahasan
1. Sebab Pemberontakan dan Terbunuhnya Uthmān Ibn ‘Affān: Konflik Internal Umat Islam yang Berkelanjutan
Uthmān ibn ‘Affān memimpin umat Islam menggantikan Umar Ibn Khattāb selama kurang dari 12 tahun. Paruh pertama pemerintahannya, kebijakan yang dijalankan adalah kelanjutan dari kebijakan politik Umar Ibn Khattāb. Namun paruh selanjutnya, pengaruh keluarga mulai mendominasi keputusan yang diambilnya. Ketetapan yang diberlakukan sering bertentangan dengan hal-hal yang yang seharusnya dilaksanakan. Diantaranya adalah pemberhentian hampir semua gubernur yang diangkat Khalifah Umar, yang kemudian diganti dengan pejabat baru yang masih terhitung kerabatnya. Akibat dari tindakan ini adalah muncul kekecewaan, ketidakpuasan dan kegelisahan di sebagian besar masyarakat. Keadaan ini semakin parah ketika gubernur pilihan Uthmān bertindak sewenang-wenang seperti Abdullāh Ibn Sarrah di Mesir. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok yang tidak senang dengan kepemimpinan Uthmān.
Menurut Muhammad Amhazun, dalam bukunya Tahqīq Muwāfiq Al-Shahābah fi al-Fitnah, menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya pemberontakan anti-Uthmān Ibn ‘Affān, diantaranya: Pertama, perbedaan karakter kepemimpinan antara khalifah sebelumnya dengan Uthmān, Kedua, perbedaan visi politik, Ketiga, adanya perubahan sosial dan kemakmuran, Keempat, pengaruh gerakan Saba’iyah.[2] Faktor yang terkahir ini dimotori oleh Abdullāh Ibn Saba’.[3] Dari dialah, muncul teori wishāyah atau washaya (wasiat atau pemberian mandat) yang menyerupai keyakinan Syī’ah.[4] Salah satu propagandanya adalah merendahkan Khalifah Abū Bakar dan Umar serta mengatakan bahwa Uthmān telah merampas jabatan khalifah yang seharusnya menjadi hak Ali sehingga –disamping tiga faktor yang telah disebutkan sebelumnya—perpecahan dalam tubuh umat Islam tidak bisa dihindarkan. Selain beberapa faktor kemunculan gerakan anti-Uthmān di atas, Haekal menyebutkan beberapa faktor yang dikutp oleh Murodi yaitu, Pertama, adanya persaingan keras antara Bani Hāsyim dan Bani ‘Umayyah. Kedua, ketidakpuasan orang-orang Arab atas dominasi Quraisy, dan Ketiga, perasaan dominasi Arab atas non Arab.[5]
Sikap dan aksi keberatan, protes dan penentangan terhadap khalifah Uthmān, perlahan namun pasti, kian menguat. Sebagian orang sudah berani terang-terangan berdiri di depan sang khalifah dan menentangnya. Ketika pemberontak semakin mengeras, sebagian orang Kufah dan Mesir berangkat ke Madinah. Mereka menuntut khalifah agar melaksanakan perintah Allah dan menghukum pejabat yang berlaku tidak adil, seperti Ibn Abī Sarrah, gubernur Mesir. Karena kemarahan mereka terhadap Uthmān, ditambah sepucuk surat yang berisi perintah untuk membunuh seluruh pemberontak, maka mereka mengepung kediaman Uthmān selama 40 hari. Sehingga pada tahun ke 35 H, Al-Khalīfah Al-Rāsyidah ketiga ini wafat di tangan pemberontak ketika sedang membaca alquran surah al-Baqarah. Ada hal penting yang patut diketahui dalam tragedi ini, yaitu pembunuh Uthmān dilakukan oleh berbagai suku yang berasal dari wilayah Mesir, Kufah, dan Bashrah yang telah bersekongkol untuk menjatuhkannya dari jabatan khilafah. Mereka adalah para perusuh yang bersekongkol dalam melakukan kejahatan dan pembuat makar. Sebenarnya, target para pemberontak bukanlah khalifah Uthmān, melaikan, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsīr yang dikutip oleh Murodi, adalah harta di bait al-māl. Para pemberontak, setelah mereka membunuh khalifah Uthmān, menyerbu ke bait al-māl dan mengambil harta yang ada di dalamanya.[6]
Pengangkatan Khalifah: Mahkota yang Diperebutkan
Sejak terbunuhnya khalifah ketiga, Ali Ibn Abī Thālib diangkat menjadi khalifah keempat di Masjid Nabawi pada 24 Juni 656.[7] Penobatan Ali sebagai khalifah bukan tanpa hambatan. Penolakan terjadi di berbagai daerah. Salah satunya datang dari Mu’āwiyah, bahkan dengan terbuka Mu’āwiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah, Karena menganggap dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikan Uthmān.[8] Sebenarnya, menurut Al-Farsyi, penolakan-penolakan –yang kemudian hari berujung peperangan—disebabkan karena mereka menuntut agar para pemberontak kekhalifahan Uthmān segera diadili dan dihukum. Setelah keinginan mereka terpenuhi, mereka bersedia untuk membaiat ali sebagai khalifah.[9]
Langkah pertama yang dilakukan khalifah Ali adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah kemudian memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat oleh pendahulunya dan mengangkat pejabat-pejabat lain. Ali lebih menghendaki agar perpolitikan umat Islam stabil daripada mencari para pemberotak dan menghukumnya sebagaimana yang dituntut oleh pendukung Uthmān. Itulah salah satu pemicu terjadinya peperangan sesama umat Islam yaitu, perang Jamal[10], terjadi pada 9 Desember 656. Setahun kemudian, dua pasukan saling berhadapan juga terjadi di dataran Shiffīn, di tepi barat sungai Efrat yang puncaknya berakhir pada 28 Juli 657. Ali membawa pasukan tentara dari Irak dan Mu’āwiyah membawa tentara Syuriah. Kelompok Ali hampir menang. Namun Mu’āwiyah meletakkan Alquran di atas tombak pasukannya pertanda seruan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya Akhirnya arbitrase dilakukan dengan masing-masing kelompok mengutus seseorang untuk berunding. Kubu Ali mengutus Abū Mūsa al-Asy’ari yang terkenal saleh namun tak begitu loyal ke ‘Ali dan kubu Mu’āwiyah mengutus ‘Amr Ibn ‘āsh yang terkenal politisi ulung.[11]
Hasil arbitrase keduanya adalah menurunkan Ali dari jabatan khalaifah dan mengangkat Mu’āwiyah menjadi khalaifah. Tentu keputusan ini tidak dapat diterima oleh Ali, karena bagaimanapun ia merasa bahwa dia adalah khalifah yang sah. Hasil tahkīm yang merugikan itu menyebabkan sebagian pasukan Ali yang kebanyakan dari kelompok ahl al-qurra (penduduk Kufah dan Bashrah) meninggalkannya dan membentuk kelompok yang kemudian dikenal dengan Khawārij karena sejak awal mereka tidak sepakat akan adanya tahkīm.
3. Agama Sebagai Legitimasi Sistem Politik
Dalam sejarah pemerintahan, agama dijadikan alat legitimasi politik oleh sebagian kalangan, baik dalam tataran ide maupun prakteknya. Bagi yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama yang serba lengkap, maka agama dan negara harus menyatu dan saling berintegrasi satu sama lain. Keterlibatan agama dengan politik, dalam hal ini Islam dan negara, merupakan suatu fenomena sistem sosio-religi-politik tersendiri. Hal ini dimungkinkan karena Islam sejak periode awal adalah agama yang terlibat langsung dengan politik; agama dan negara merupakan satu kesatuan. Nabi sebagai pemimpin agama, juga sebagai kepala negara. [12]
Di masa Nabi, walau bukan dimaksudkan untuk melegitimasi sistem politik, agama telah berperan demikian. Berbagaai kebijaksaan politik tidak sekedar dilegitimasi bahkan dijustifikasi oleh agama; jika tidak oleh Alquran setidaknya hadis. Kita dapat mengetahuinya dengan nilai-nilai ajaran Islam seputar politik yaitu, keharusan taat pada pemimpin, bai’at, syūra, dan lain-lain. Hal itu tetap berlaku pada zaman al-Khulafāur al-Rāsyidūn. Namun, sejak masa Mu’āwiyah dan pemerintahan sesudahnya, berbagai hal dalam sistem politik berubah, termasuk mengubah masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan.
Paham-paham antar firqah seputar pemimpin juga mempengaruhi status agama sebagai legitimasi politik. Di atas sudah dijelakan bahwa kemunculan masing-masing firqah, semula sebagai respon atau gerakan politk terhadap penguasa yang mereka anggap tidak sejalan dan menguntungkan bagi mereka. Syī’ah, sebagai pengikut setia ‘Ali Ibn Abī Thālib lahir karena sebuah kekecewaan; calon yang mereka usung, yaitu ‘Ali, tidak diangkat menjadi khalifah pasca Rasulullah saw. wafat. Sehingga bagi mereka, imam yang sah dan ma’shūm adalah dari dua belas imam versi mereka, yaitu ‘Ali dan keturunannya. Bahkan persoalan ini bagi mereka sangat penting sehingga termasuk dalam rukun agama.
Padahal pada dasarnya sistem khilafah atau imāmah hanyalah akibat logis dari sistem Islam, bukan sesuatu yang fundamental dalam Islam. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan umum dalam rangka menegakkan hukum ilāhi dan kepaduan umat dalam ekspansinya. Kehadiran negara atau khilafah bukan merupakan tujuan (ghāyah), melinkan sarana untuk mencapai tujuan (wasīlah). Tujuannya adalah mewujudkan kemaslahatan manusia secara lahir batin, baik dunia maupun akhirat.[13] Oleh karena itu, Ibnu Khaldun sangat menolak dengan gelar-gelar kekhaifahan. Menurutnya, kekhaifahan sesudah Al-Khulafāu al-Rāsyidūn cukup diberi gelar kepala negara (raja) tanpa atribut agama. Hal ini mungkin karena berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para khalifah tersebut, pola hidup yang bagaikan raja atau kaisar, dan penggunaan gelar khalifah yang berlebihan.[14]
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa benih-benih perpecahan umat Islam telah ada sejak ‘Ali Ibn Abī Thālib tidak dipilih sebagai khalifah pasca wafatnya Nabi saw., yang kemudian hari menjadi sebuah kelompok yang disebut Syī’ah dan sangat loyal terhadap ‘Ali. Hanya saja, saat Abū Bakar dan Umar Ibn Khattāb menjabat khalifah, umat Islam masih bersatu padu dan patuh dalam komando sang khalifah. Namun, paruh kedua kepemimpinan Uthmān Ibn ‘Affān, masyarakat merasa tidak puas sehingga kemudian hari terjadi pemberontakan anti-Uthmān dari berbagai daerah dan berakhir dengan terbunuhnya Uthmān sebagai khalifah ketiga. Faktor-faktor yang melatarbelakanginya adalah perbedaan karakter kepemimpinan, visi politik, perluasan wilayah dan gerakan Saba’iyah. Indikasi kebijakan khalifah yang menguntungkan kerabatnya, dalam hal ini Bani ‘Umayyah juga merupakan faktor pendukung. Saat ‘Ali Ibn Abī Thālib hadir sebagai pengganti Uthmān, konflik di antara umat Islam tidaklah berakhir, akan tetapi semakin memanas. Tuntutan untuk mengadili pemberontak Uthmān dari berbagai daerah dan ditolaknya ‘Ali sebagai khalifah keempat, menjadi salah satu faktor utama. Akibatnya, peperangan sesama umat Islam tidak bisa dihindari, yaitu perang Jamal (pasukan khalifah ‘Ali melawan Thalhah, Zubair dan Siti Aisyah) yang dimenangkan kubu ‘Ali dan perang Shiffīn (pasukan ‘Ali melawan pasukan Mu’āwiyah) yang berakhir tahkīm. Hasil tahkīm lebih menguntungkan Mu’āwiyah dan menetapkan ia sebagai khalifah. Sebagian pasukan ‘Ali tidak terima dengan tahkīm dan keputusan yang dihasilkannya. Sejak saat itulah, umat Islam mulai terpecah yang diawali oleh Khawārij dan Syī’ah. Kemudian saling bermunculan kelompok Qādiriyah, Jabbariyah, Murji’ah, Mu’tazilah dan Ash’aryyah (Ahlu al-Sunnah).
Semula, masing-masing kelompok ini mucul sebagai respon politik terhadap pemimpin atau penguasa yang tidak sesuai dan sejalan dengan mereka. Akan tetapi, perkembangan selanjutnya, mereka beralih dari gerakan politik menjadi gerakan keagamaan atau teologi. Mereka menyusun teori-teori yang menjustifikasi pemikirannya dan mereka ajarkan kepada para pengikutnya. Pada tataran prakteknya, teori-teori tersebut berubah menjadi prinsip-prinsip dan undang-undang menurut keyakinan kelompok-kelompoknya yang wajib ditaati dan diterapkan serta sebagai contoh moral yang harus diikuti. Tak heran, jika meraka sering menggunakan agama sebagai kendaraaan untuk legitimasi langkah politik yang mereka lakukan. mencapuradukkan antara agama dengan negara adalah hal yang niscaya. Imam yang ma’shūm, khalifah harus ditegakkan, rakyat harus patuh dan tunduk terhadap semua kebijakan-kebijakan pemimpin baik menguntungkan atau merugikan rakyat adalah salah satu produk dimana agama dijadikan alat legitimasi politik.
BIBLIOGRAFI
Abū Manshūr al-Tamīmy. 1987. Al-Milal wa al-Nahl. Baerut: Dar al-Masyriq.
Abū Mūsā al-‘Ash’ary. 1990. Maqālatu al-Islāmiyyīn. Baerut: Maktabah al-Ashriyah.
Afifuddin Muhajir. 2016. Fiqih Tata Negara.Yogyakarta: IRCiSoD.
At-Thabari. 1989. Al-Umam wa al-Mulk.Baerut: Dār al-Fikr.
Dhiauddin. 2001. al-Nazariyāt al-Siyāsah al-Islāmiyah Kairo: Maktabah Dārut Thurāts.
Mahzūn. 2007. Tahqīq Muwāfiq al-Shahābah Kairo: Dār al-Salām.
Murodi. 2011. Rekonsiliasi Politik Umat Islam. Jakarta: Kencana.
Philip K. Hitti. 2018. History Of The Arabs. Jakarta: Zaman.
Sahilun. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya. Jakarta: Grafindo Persada.
Sjechul Hadi Permono. 2004. Islam dalam Sejarah Perpolitikan. Surabaya: Aulia.
Syafiuddin. 2009. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun Yogyakarta: Gama Media.
[1] Dhiauddin. 2001. al-Nazariyāt al-Siyāsah al-Islāmiyah Kairo: Maktabah Dārut Thurāts. h. 25
[2] Mahzūn. 2007. Tahqīq Muwāfiq al-Shahābah Kairo: Dār al-Salām h. 210-220
[3] Abdullāh bin saba’ adalah tokoh ajaib dalam sejarah Islam yang berasal dari San’a (Yaman) dan menganut agama Yahudi, hanya saja ia berpura-pura masuk Islam. Ia dijuluki sebaggai ibn al-sawdā’ (si anak hitam). Para sejarawan klasik semisal at-Thabari menyebutnya sebagai otak dalam berbagai kerusuhan dan penyebab fitnah. Lihat At-Thabari. 1989. Al-Umam wa al-Mulk.Baerut: Dār al-Fikr. juz 3, h. 378
[4] Dhiauddin. 2001. al-Nazariyāt al-Siyāsah al-Islāmiyah. h. 28
[5] Murodi. 2011. Rekonsiliasi Politik Umat Islam. Jakarta: Kencana h. 34
[6] Murodi. 2011. Rekonsiliasi Politik Umat Islam. h. 44
[7] Philip K. Hitti. 2018. History Of The Arabs. Jakarta: Zaman. h. 223
[8] At-Thabari. Al-Umam wa al-Mulk. juz 3. h. 558
[9] Murodi. Rekonsiliasi Politik Umat Islam. h. 49
[10] Dikatakan perang Jamal (perang unta) karena Siti Aisyah menunggangi seeokor unta di tengah-tengah. Perang ini terjadi antara pasukan yang dipimpin ‘Ali melawan pasukan yang dipimpin Thalhah, Zubair, dan Siti aisyah, istri Nabi.
[11] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. h. 226
[12] Syafiuddin. 2009. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun Yogyakarta: Gama Media. h. 165.
[13] Afifuddin Muhajir. 2016. Fiqih Tata Negara.Yogyakarta: IRCiSoD. h. 23
[14] Syafiuddin. Negara Islam Menurut Konsep Ibnu Khaldun h. 167.
Tags : Artikel Guru
MA Alif Laam Miim
“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”
- MA Alif Laam Miim
- Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
- maaliflaammiim@gmail.com
- 0813-8645-3684