Termasuk kesibukan yang menyita waktu, tenaga dan pikiran
adalah proses perpindahan rumah. Pengangkutan barang-barang, mulai dari barang
pokok yang besar-besar sampai pada barang-barang kecil pendukung hidup sungguh
agak merepotkan. Tak sedikit yang memborongkan atau menyewa mobil besar
pengangkut biar cepat selesai. Sedikit sekali yang membawanya sedikit demi
sedikit karena pasti akan memakan waktu panjang.
Seorang ulama masa lalu menyadari betul bahwa dirinya pasti
akan pindah dari rumah dunia ke rumah akhirat. Beliau rajin sekali memproses
pemindahan barang-barang yang dimilikinya di rumah dunia ini menuju rumah
akhirat. Pengangkut utamanya adalah SHADAQAH. Rupanya, ulama itu tak mau repot-repot
berpanjang waktu. Kendaraan shadaqah yang digunakan adalah kendaraan besar.
Hartanya segera dipindahkan sebanyak mungkin melalui masjid, pesantren,
madrasah, fakir miskin dan anak yatim. Tak ada hari tanpa pemindahan
barang-barang miliknya ke rumah barunya itu.
Ada orang kini yang terus menumpuk hartanya di rumah lama
bernama dunia itu dan tidak pernah memindahkannya ke rumah barunya di akhirat.
Ditumpuknya sampai rumah lama penuh sementara rumah baru kosong. Anehnya, orang
kini itu merasa bangga dengan tumpukan barang yang pasti akan ditinggalkannya
itu dengan memamerkannya pada khalayak dengan menganggap dirinya orang cerdas,
ahli manajemen ekonomi yang sukses. Dia lupa bahwa rumah barunya yang akan
ditempati dalam waktu jauh lebih lama adalah kosong tak ada apa-apanya.
Siapakah di antara dua manusia itu yang sesungguhnya lebih
cerdas dan beruntung? Betapa senangnya sang ulama jaman lama itu yang akan
menempati rumah barunya yang sudah lengkap dengan segala yang dibutuhkannya.
Alangkah ruginya manusia kini tadi yang barang-barangnya dengan sengaja
ditinggalkan di rumah lama menjadi perebutan entah oleh siapa.
Ulama lama yang rajin shadaqah itu dikritik habis-habisan
karena terlalu banyak shadaqah katanya. Beliau cuma tersenyum dan berkata: "Inilah
cara saya mencintai dunia agar selalu bersama saya sampai akhirat kelak."
Bagaimana dengan kita? Masih mau menumpukkan di rumah lama dan membiarkan
kosong rumah baru? Lebih cerdaslah berpiki!
Penulis: Prof. Dr. KH. Ahmad Imam Mawardi, MA _2017