Maret 01, 2023

PASCA KELAS: DISKUSI KECIL DENGAN SANTRI 5 MENARA

 


Oleh: Yurid Shifan A’lal Firdaus, S.Ag (Waka. Bidang Al-Qur’an MA Alif Laam Miim Surabaya)

 Tepat setelah jam pembelajaran malam selesai, saya memanggil 5 orang santri untuk menetap di kelas. Saya sebut mereka dengan santri 5 menara karena mereka sering menghabiskan waktu bersama dalam belajar, mengaji, berdiskusi, makan, dan beberapa kegiatan lainnya. Kelima santri ini juga paling aktif di kelas saya dan kritis merespon femomena aktual. Selain di kelas, mereka juga rutin secara bergantian mendaftarkan diri untuk menjadi pemateri dan moderator ngaji teras masjid (Terma), sebuah diskusi akhir pekan yang kami inisiasi secara swadaya. Beberapa indikator tadi yang membuat saya spontan menyebut mereka santri 5 menara, terinspirasi dari cerita 5 santri dalam novel pesantren karya Ahmad Fuadi.

Begitu santri lain perlahan keluar kelas untuk melanjutkan rutinitas berikutnya, kelima santri yang saya panggil tadi mulai mendekat ke meja guru. Saya memanggil mereka untuk ngobrol santai dan berdiskusi tentang banyak hal. Oleh karena mereka penggiat literasi dan memiliki potensi critical thinking yang baik, beberapa pantikan saya direspon dengan lugas, luas, lugu, sekaligus lucu. Saya memang tidak membawa topik-topik berat di fase perkembangan pola pikir mereka saat ini. Namun melalui feed back yang saya terima, mereka tunjukkan lompatan berpikir dan kepekaan terhadap sekitar.

Ngobrol santai pasca kelas ini saya mulai dengan evaluasi umum tentang rutinitas sehari-hari di pesantren dan suasana belajar di dalam kelas. Sampel kecil dari kelima santri - meski tidak sesuai kaidah metodologi - minimal dapat menjadi tolak ukur pribadi pada saat berinteraksi, belajar, dan mengaji bersama para santri. Dengan  pelan dan sopan, mereka memberikan kritik, saran, dan masukan sebagai bahan evaluasi dan transformasi ke arah yang lebih baik. Saya percaya pada prinsip saling menasehati (al-tawasub) yang dibungkus oleh sikap saling menghormati dan menyayangi (al-takarum wa al-tarahum) akan mengarah pada budaya refleksi dengan spirit memuliakan, bukan menjatuhkan.

Selain soal pesantren, kami juga berdiskusi tentang pola kepemimpinan Khulafa' al-Rasyidin untuk mengingat kisah inspiratif serta karakteristik utama sahabat terdekat Nabi sekaligus pemimpin umat Islam. Dari sejarah Islam, obrolan beralih pada sejarah kepemimpinan di Indonesia dari awal hingga estafet berikutnya. Kemudian dari kami mengingat sebuah meme yang merekontruksi sejarah dan menemukan benang merah antara Indonesia dan Desa Konoha. Sungguh pikiran unik yang membuat diskusi ini semakin dinamis.

Di akhir diskusi saya teruskan pesan seorang teman yang mengutip novel Dan Brown berjudul "Angel and Demon" bahwa pernah terjadi diskusi antara seorang agamawan dan ilmuwan yang saling menasehati tentang sikap masing-masing. Ketika ilmuwan menasehati agamawan ia berkata "Kamu terlalu baik sehingga kamu mudah dibodohi", kemudian dibalas oleh sang agamawan "Kamu terlalu rasional sehingga kamu sulit mencintai". Tiba-tiba salah seorang santri meresponnya di luar dugaan saya, "Ya ustadz, makanya ada gelar Profesor Doktor Kiai Haji, jadi seseorang bisa menjadi ilmuwan sekaligus agamawan", sontak kami semua tertegun dan tersenyum. Saya pribadi pun kagum mendengar sahutan santri tadi yang telah memandang relasi agama dan ilmu pengetahuan secara integratif bukan dikotomis.


Tags :

bm

MA Alif Laam Miim

“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”

  • MA Alif Laam Miim
  • Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
  • maaliflaammiim@gmail.com
  • 0813-8645-3684