PASCA KELAS: DISKUSI KECIL DENGAN SANTRI 5 MENARA
Oleh: Yurid Shifan A’lal Firdaus, S.Ag (Waka. Bidang Al-Qur’an MA Alif Laam Miim Surabaya)
Begitu santri lain perlahan keluar kelas untuk
melanjutkan rutinitas berikutnya, kelima santri yang saya panggil tadi mulai
mendekat ke meja guru. Saya memanggil mereka untuk ngobrol santai dan
berdiskusi tentang banyak hal. Oleh karena mereka penggiat literasi dan
memiliki potensi critical thinking yang baik, beberapa pantikan saya direspon
dengan lugas, luas, lugu, sekaligus lucu. Saya memang tidak membawa topik-topik
berat di fase perkembangan pola pikir mereka saat ini. Namun melalui feed back
yang saya terima, mereka tunjukkan lompatan berpikir dan kepekaan terhadap
sekitar.
Ngobrol santai pasca kelas ini saya mulai
dengan evaluasi umum tentang rutinitas sehari-hari di pesantren dan suasana
belajar di dalam kelas. Sampel kecil dari kelima santri - meski tidak sesuai
kaidah metodologi - minimal dapat menjadi tolak ukur pribadi pada saat
berinteraksi, belajar, dan mengaji bersama para santri. Dengan pelan dan sopan, mereka memberikan kritik,
saran, dan masukan sebagai bahan evaluasi dan transformasi ke arah yang lebih
baik. Saya percaya pada prinsip saling menasehati (al-tawasub) yang dibungkus
oleh sikap saling menghormati dan menyayangi (al-takarum wa al-tarahum) akan
mengarah pada budaya refleksi dengan spirit memuliakan, bukan menjatuhkan.
Selain soal pesantren, kami juga berdiskusi
tentang pola kepemimpinan Khulafa' al-Rasyidin untuk mengingat kisah inspiratif
serta karakteristik utama sahabat terdekat Nabi sekaligus pemimpin umat Islam.
Dari sejarah Islam, obrolan beralih pada sejarah kepemimpinan di Indonesia dari
awal hingga estafet berikutnya. Kemudian dari kami mengingat sebuah meme yang
merekontruksi sejarah dan menemukan benang merah antara Indonesia dan Desa
Konoha. Sungguh pikiran unik yang membuat diskusi ini semakin dinamis.
Di akhir diskusi saya teruskan pesan seorang
teman yang mengutip novel Dan Brown berjudul "Angel and Demon" bahwa
pernah terjadi diskusi antara seorang agamawan dan ilmuwan yang saling
menasehati tentang sikap masing-masing. Ketika ilmuwan menasehati agamawan ia
berkata "Kamu terlalu baik sehingga kamu mudah dibodohi", kemudian
dibalas oleh sang agamawan "Kamu terlalu rasional sehingga kamu sulit
mencintai". Tiba-tiba salah seorang santri meresponnya di luar dugaan
saya, "Ya ustadz, makanya ada gelar Profesor Doktor Kiai Haji, jadi
seseorang bisa menjadi ilmuwan sekaligus agamawan", sontak kami semua
tertegun dan tersenyum. Saya pribadi pun kagum mendengar sahutan santri tadi
yang telah memandang relasi agama dan ilmu pengetahuan secara integratif bukan
dikotomis.
Tags : Artikel Guru
MA Alif Laam Miim
“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”
- MA Alif Laam Miim
- Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
- maaliflaammiim@gmail.com
- 0813-8645-3684