Desember 20, 2023

PAK SABAR DAN MURID SPESIALNYA

 

Namanya lengkapnya adalah Agus Sabaruddin, S.Pd. Ia adalah guru agama di Madrasah Aliyah (MA) Bahrul Ulum. Hampir dua puluh tahun lamanya ia mengabdikan dirinya di lembaga yang sangat ia cintai ini. Gajinya memang tak seberapa. Namun jangan tanya persoalan komitmen. Ia siap melakukan hal apapun demi madrasahnya. “Allah lah yang akan menggaji guru. Jariyahnya terus mengalir walau sudah meninggal,” itulah prinsip yang terus ia tanamkan dalam jiwanya.

Pak Sabar mengampu pelajaran Akidah Akhlak dan Fikih. Pria yang sudah berusia paruh baya ini selalu menjadi rujukan hukum di madrasah maupun di kampung halamannya. Maklum selain mengajar fikih puluhan tahun, ia pernah mondok di pesantren salaf yang terkenal dengan kajian kitab kuningnya. Pak Sabar pernah bercerita kepada murid-muridnya, “Orang-orang dulu, mondoknya 10 tahun bahkan lebih, Nak. Kalau sekarang mondok hanya satu dua tahun, itu namanya hanya numpang pipis.”

Di tempat Pak Sabar mengajar, hampir ia tidak menemukan kendala terkait perilaku murid-muridnya. Para siswa cenderung sami’na wa atha’na atas apa yang disampaikan Pak Sabar. Memang, siswa di MA Bahrul Ulum tempat ia mengajar adalah santri yang juga bermukim di pondok pesantren. Secara ilmu keagamaan, para santri sudah memiliki bekal karena diajarkan di pesantren.

Suatu ketika, Pak Sabar mendapatkan murid baru pindahan dari madrasah seberang. Ahmad Shodrun Najah nama lengkapnya. Di sekolah lama, ia dipanggil dengan nama Ahmad. Namun di MA yang baru ini, ia ‘terpaksa’ dipanggil Shodrun karena di kelasnya sudah ada siswa dengan panggilan Ahmad. Entah dengan alasan apa, orang tuanya memutasikan ia dari sekolah asalnya. Konon alasan kepindahannya agar Shodrun bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Sementara sekolahnya yang lama, pembelajaran al-qur’an belum terprogramkan dengan baik dan maksimal.

Shodrun adalah anak yang ceria dan humoris. Postur tubuhnya cukup tinggi agak kurus. Kacamatanya yang tebal menjadikan ia terlihat semakin kurus. Jika ia berbicara, terlihat ekspresi wajahnya yang banyak senyumnya dibandingkan dengan ekspresi datarnya. Satu hal yang menjadikan ia spesial. Ia merupakan anak hiperaktif yang sering bertingkah aneh dan lucu. Ia tipikal anak yang tidak suka diam. Pasti ada satu dua hal yang tiba-tiba ia lakukan.

Sejak awal orang tuanya mengatakan kepada kepala madrasah, “Anak saya ini kecenderungannya bukan di pelajaran akademik, Pak. Tapi dia semangat dan aktif kalau berkaitan dengan keagamaan.” Iya, Shodrun adalah anak yang ghirah keislamannya tinggi. Ia selalu ikut salat berjamaah, ikut wiridan, dan tidak pernah absen ikut mengaji -meski bacaan qura’annya masih terbata-bata. Ia bahkan tak segan azan zuhur di masjid madrasah. Di sisi itu, sangat menggembirakan. Namun ada hal yang menggemaskan. Saat pelajaran Matematika, Shodrun pernah minta izin kepada gurunya dengan alasan untuk azan di masjid.

“Ini masih pelajaran Mas,” Bu Guru melarangnya karena jadwal salat Zuhur yang ditetapkan madrasah masih kurang 20 menit.

“Azan itu urusan akhirat, Bu. Sementara matematika itu urusan dunia,” jawab Shadrun apa adanya.

Pak Sabar hanya tersenyum ketika mendapat keluhan dari guru-guru lain tentang tingkah Shodrun ini. Maklum, Pak Sabar belum melihat secara langsung tingkah nyleneh anak didiknya yang satu ini. Selama ini, ia melihat Shodrun sebagai anak yang biasa saja seperti teman sebayanya. Adapun tingkah laku Shodrun yang sangat aktif, ia anggap itu sebagai sebuah kewajaran.

Hingga suatu hari, Pak Sabar pun mengalaminya langsung. Ketika iqamah salat Zuhur sudah dikumadangkan, si Shodrun tak kunjung datang. Padalah, biasanya tak pernah seperti ini. Azan berkumandang, Shodrun pasti sudah terburu-buru menuju shof pertama. “Kemana anak ini ya, kok tumben,” gumam Pak Sabar dalam hatinya. Sebagai guru agama, Pak Sabar punya kewajiban memantau salat berjamaah seluruh siswa terutama salat Zuhur.

Setelah tolah-toleh kanan kiri, beliau memilih ikut salat berjamaah di shaf paling akhir. Tak berselang lama setelah Pak Sabar takbiratul ihrom, tiba-tiba si Shodrun datang di sebelah Pak Sabar tergupuh-gupuh dan langsung ikut takbir. Dalam hati kecil Pak Sabar membatin, “Alhamdulillah” akhirnya Shodrun ikut salat berjamaah. Namun sepanjang salat si Shodrun bertingkah aneh. Ternyata ia salat dengan posisi kaki kiri diangkat ke atas. Awalnya Pak Sabar tidak menyadarinya. Saat rukuk itulah, Pak Sabar baru mengetahui. Rakaat kedua hingga rakaat keempat, Shodrun selalu seperti itu. Tambah gelisahlah guru agama ini. Apakah kaki Shodrun luka, apakah keseleo, apakah kena paku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berputar-putar di kepala Pak Sabar.

“Assalamu’alaikum. Assalamu’alaikum,” Pak Sabar dan Shodrun hampir mengucapkan salam bersamaan pertanda berakhirnya salat.

“Kamu dari mana Nak, kok terlambat berjamaah. Biasanya kan selalu tepat waktu.” Tanya Pak Sabar.

“Saya tadi kebelet dua Pak. Hehe…,” jawab Shodrun sambil cengengesan. Izin ke belakang di sekolah itu memang menggunakan kode. Kode satu untuk buang air kecil dan kode dua untuk buang air besar. Entah siapa yang mengawali kode-kode tersebut. Biar ‘lebih sopan’ saat didengar katanya.

“Ohh.. Terus kenapa tadi kamu kok mengangkat kaki kiri pas salat. Apakah kakimu kena paku? Atau terluka?”

“Tidak Pak. Alhamdulillah kaki saya baik-baik saja.”

“Lah terus kenapa kamu angkat, nak?” Pak Sabar penasaran.

Setelah memperbaiki songkoknya, Shodrun mulai bercerita, “Begini Pak. Setelah dari kamar mandi, saya langsung ambil wudhu. Semula airnya lancar, Pak. Tapi setelah membasuh tangan, airnya mulai mengecil. Saya terus berwudhu Pak. Pas sampai kaki kanan, airnya mati total. Yang terbasuh hanya kaki kanan saja, pak. Kaki yang kiri belum. Saya takut tertinggal salat berjamaah. Makanya saya langsung lari menuju masjid.”

“Terus..?” Pak Sabar sudah mulai mengeryitkan dahi.

“Ya saya ikut salat, Pak. Karena kaki kiri belum wudhu, makanya saya angkat Pak. Saya khawatir tertinggal fadilah berjamaah, pak. Kata Bapak kan pahalanya 27 derajat.”

“Ya Allah….” Pak Sabar sambil menepuk jidatnya.

Tidak sampai di situ, cerita aneh yang lain juga terjadi saat Pak Sabar dan Shodrun berangkat umroh. Jangan ditanya bagaimana berduanya kok bisa umroh bareng. Ceritanya panjang kali lebar. Singkatnya keduanya dapat doorprize undian umroh yang diadakan oleh Kemenag ketika jalan sehat dalam rangka Hari Amal Bakti Kementerian Agama. Kebetulan Pak Sabar mendapat hadiah utama yakni umroh gratis. Sedangkan Shodrun dapat voucher umroh 10 juta. Orang tua Shodrun bahagia sekali dan langsung melunasi sisa pembayaran umroh anaknya. “Mumpung Shodrun bisa berangkat umroh bareng guru agamanya. Ada yang membimbing langsung. Kalau berangkat dengan kami, kami tidak bisa membimbingnya,” ucap ibu Shodrun.

Berangkatlah Pak Sabar dan Shodrun bersama para jamaah umroh lain. Sesampainya di sana, mereka melakukan rangkaian ibadah umroh dimulai dengan miqat sampai dengan tahalul. Dasarnya Shodrun adalah anak yang hiperaktif, ia sering berpisah dari rombongan. Tak jarang ia berulah sehingga meninggalkan jamaah yang lain.

Kejadian unik terulang ketika tawaf. Awalnya Shodrun dengan para jamaah memulai thawaf bersama-sama. Namun, belum sampai satu putaran, Shodrun sudah menghilang. “Ya Allah, semoga anak ini tidak hilang,” doa Pak Sabar pasrah sambil ikut mengawasi dan membantu jamaah yang sudah sepuh. Sesekali Pak Sabar melihat Shodrun sekelebat mata saja lalu menghilang di kerumunan orang. Meski berdesakan, Shodrun memutari Ka’bah dengan cepat. Maklum, dia pernah ikut lomba Porseni Cabang Atletik Lari 5.000 m waktu di bangku Madrasah Tsanawiyah.

Ketika Pak Sabar baru memulai putaran ketujuh, tiba-tiba ia berpapasan dengan Shodrun. Pak Sabar heran, ini anak kok keliling Ka’bah melawan arus. Seharusnya orang thawaf itu melawan arah jarum jam. Shodrun kok malah sebaliknya. Orang-orang sekeliling Shodrun juga terheran-heran melihat tingkah anehnya. Sudah begitu, jalannya sambil mundur lagi. “Shodrun…! Shodrun..!” Pak Sabar memanggil muridnya ini. Jamaah yang lain pun ikut menoleh. Karena jaraknya cukup jauh, Shodrun tidak mendengar suara gurunya.

Setelah menyelesaikan tujuh putaran, Pak Sabar tidak langsung salat sunah thawaf sebagaimana jamaah yang lain. Ia mencari anak didiknya ini. Ketemulah Shodrun berada di dekat Hijir Isma’il. “Nak, kita menepi di belakang Maqam Ibrahim.” Setelah di tempat yang tidak begitu ramai, Pak Sabar bertanya, “Nak kamu kenapa tadi? Orang thawaf itu melawan arah jarum jam. Kamu kok justru sebaliknya.”

Seperti biasa, Shodrun cengengesan dulu sebelum menjawabnya, “Iya, Pak. Awalnya saya thawaf seperti yang Bapak ajarkan. Tapi di akhir thawaf saya baru ingat, Pak. Seharusnya, saya thawaf tujuh kali. Ternyata lebih satu, Pak. Tadi saya keliling Ka’bah genap delapan kali. Jadi saya kurangi satu dengan mundur balik, Pak. Agar hitungannya kembali ke tujuh lagi.”

“Masyaallah….” Pak Sabar menimpali sambil menghirup nafas panjang. Pak Sabar hanya mengelus dada bingung mau menjawab apa.

Di rumahnya, kala tengah berbincang dengan sang istri Pak Sabar menceritakan pula tentang serba-serbi tingkah Shodrun. Sang istri tersenyum geli, namun lalu menimpali, “Shodrun beruntung, dong, Mas, punya guru seperti Mas yang sifatnya menyamai nama, Sabar.

Pak Sabar menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tetapi yang kemudian melekat adalah ucapan sang istri setelah itu.

“Kedengarannya, Shodrun itu murid yang spesial, Mas… dan hanya guru spesial yang bisa mengarahkan murid spesial.” Sang istri menepuk pundak Pak Sabar pelan, “Jadi tetap semangat ya, Pak Guru Spesial.

Di luar sana pun, ada banyak Shodrun-Shodrun lain. Murid-murid spesial lain. Dan mereka menunggu untuk bertemu dengan guru-guru spesial yang bersedia untuk mengerti keunikan-keunikan dan mengarahkan semangat baik mereka. InsyaAllah.


Penulis: Ahmad Sarip Saputra, M.Ag (Kepala MA Alif Laam Miim Surabaya)

Tags :

bm

MA Alif Laam Miim

“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”

  • MA Alif Laam Miim
  • Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
  • maaliflaammiim@gmail.com
  • 0813-8645-3684