PAK SABAR DAN MURID SPESIALNYA
Pak Sabar mengampu pelajaran Akidah
Akhlak dan Fikih. Pria yang sudah berusia paruh baya ini selalu menjadi rujukan
hukum di madrasah maupun di kampung halamannya. Maklum selain mengajar fikih
puluhan tahun, ia pernah mondok di pesantren salaf yang terkenal dengan kajian kitab
kuningnya. Pak Sabar pernah bercerita kepada murid-muridnya, “Orang-orang dulu,
mondoknya 10 tahun bahkan lebih, Nak. Kalau sekarang mondok hanya satu dua
tahun, itu namanya hanya numpang pipis.”
Di tempat Pak Sabar mengajar, hampir
ia tidak menemukan kendala terkait perilaku murid-muridnya. Para siswa
cenderung sami’na wa atha’na atas apa yang disampaikan Pak Sabar.
Memang, siswa di MA Bahrul Ulum tempat ia mengajar adalah santri yang juga bermukim
di pondok pesantren. Secara ilmu keagamaan, para santri sudah memiliki bekal karena
diajarkan di pesantren.
Suatu ketika, Pak Sabar
mendapatkan murid baru pindahan dari madrasah seberang. Ahmad Shodrun Najah
nama lengkapnya. Di sekolah lama, ia dipanggil dengan nama Ahmad. Namun di MA yang
baru ini, ia ‘terpaksa’ dipanggil Shodrun karena di kelasnya sudah ada siswa
dengan panggilan Ahmad. Entah dengan alasan apa, orang tuanya memutasikan ia
dari sekolah asalnya. Konon alasan kepindahannya agar Shodrun bisa membaca
al-Qur’an dengan baik. Sementara sekolahnya yang lama, pembelajaran al-qur’an
belum terprogramkan dengan baik dan maksimal.
Shodrun adalah anak yang ceria dan
humoris. Postur tubuhnya cukup tinggi agak kurus. Kacamatanya yang tebal
menjadikan ia terlihat semakin kurus. Jika ia berbicara, terlihat ekspresi
wajahnya yang banyak senyumnya dibandingkan dengan ekspresi datarnya. Satu hal
yang menjadikan ia spesial. Ia merupakan anak hiperaktif yang sering bertingkah
aneh dan lucu. Ia tipikal anak yang tidak suka diam. Pasti ada satu dua hal
yang tiba-tiba ia lakukan.
Sejak awal orang tuanya
mengatakan kepada kepala madrasah, “Anak saya ini kecenderungannya bukan di
pelajaran akademik, Pak. Tapi dia semangat dan aktif kalau berkaitan dengan
keagamaan.” Iya, Shodrun adalah anak yang ghirah keislamannya tinggi. Ia
selalu ikut salat berjamaah, ikut wiridan, dan tidak pernah absen ikut mengaji
-meski bacaan qura’annya masih terbata-bata. Ia bahkan tak segan azan zuhur di
masjid madrasah. Di sisi itu, sangat menggembirakan. Namun ada hal yang
menggemaskan. Saat pelajaran Matematika, Shodrun pernah minta izin kepada
gurunya dengan alasan untuk azan di masjid.
“Ini masih pelajaran Mas,” Bu
Guru melarangnya karena jadwal salat Zuhur yang ditetapkan madrasah masih kurang
20 menit.
“Azan itu urusan akhirat, Bu.
Sementara matematika itu urusan dunia,” jawab Shadrun apa adanya.
Pak Sabar hanya tersenyum ketika
mendapat keluhan dari guru-guru lain tentang tingkah Shodrun ini. Maklum, Pak Sabar
belum melihat secara langsung tingkah nyleneh anak didiknya yang satu
ini. Selama ini, ia melihat Shodrun sebagai anak yang biasa saja seperti teman sebayanya.
Adapun tingkah laku Shodrun yang sangat aktif, ia anggap itu sebagai sebuah
kewajaran.
Hingga suatu hari, Pak Sabar pun mengalaminya
langsung. Ketika iqamah salat Zuhur sudah dikumadangkan, si Shodrun tak kunjung
datang. Padalah, biasanya tak pernah seperti ini. Azan berkumandang, Shodrun
pasti sudah terburu-buru menuju shof pertama. “Kemana anak ini ya, kok tumben,”
gumam Pak Sabar dalam hatinya. Sebagai guru agama, Pak Sabar punya kewajiban
memantau salat berjamaah seluruh siswa terutama salat Zuhur.
Setelah tolah-toleh kanan
kiri, beliau memilih ikut salat berjamaah di shaf paling akhir. Tak berselang
lama setelah Pak Sabar takbiratul ihrom, tiba-tiba si Shodrun datang di sebelah
Pak Sabar tergupuh-gupuh dan langsung ikut takbir. Dalam hati kecil Pak
Sabar membatin, “Alhamdulillah” akhirnya Shodrun ikut salat berjamaah. Namun sepanjang
salat si Shodrun bertingkah aneh. Ternyata ia salat dengan posisi kaki kiri
diangkat ke atas. Awalnya Pak Sabar tidak menyadarinya. Saat rukuk itulah, Pak
Sabar baru mengetahui. Rakaat kedua hingga rakaat keempat, Shodrun selalu
seperti itu. Tambah gelisahlah guru agama ini. Apakah kaki Shodrun luka, apakah
keseleo, apakah kena paku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berputar-putar
di kepala Pak Sabar.
“Assalamu’alaikum.
Assalamu’alaikum,” Pak Sabar dan Shodrun hampir mengucapkan salam bersamaan pertanda
berakhirnya salat.
“Kamu dari mana Nak, kok
terlambat berjamaah. Biasanya kan selalu tepat waktu.” Tanya Pak Sabar.
“Saya tadi kebelet dua Pak.
Hehe…,” jawab Shodrun sambil cengengesan. Izin ke belakang di sekolah itu
memang menggunakan kode. Kode satu untuk buang air kecil dan kode dua untuk
buang air besar. Entah siapa yang mengawali kode-kode tersebut. Biar ‘lebih
sopan’ saat didengar katanya.
“Ohh.. Terus kenapa tadi kamu kok
mengangkat kaki kiri pas salat. Apakah kakimu kena paku? Atau terluka?”
“Tidak Pak. Alhamdulillah kaki
saya baik-baik saja.”
“Lah terus kenapa kamu angkat,
nak?” Pak Sabar penasaran.
Setelah memperbaiki songkoknya,
Shodrun mulai bercerita, “Begini Pak. Setelah dari kamar mandi, saya langsung
ambil wudhu. Semula airnya lancar, Pak. Tapi setelah membasuh tangan, airnya
mulai mengecil. Saya terus berwudhu Pak. Pas sampai kaki kanan, airnya mati total.
Yang terbasuh hanya kaki kanan saja, pak. Kaki yang kiri belum. Saya takut
tertinggal salat berjamaah. Makanya saya langsung lari menuju masjid.”
“Terus..?” Pak Sabar sudah mulai
mengeryitkan dahi.
“Ya saya ikut salat, Pak. Karena
kaki kiri belum wudhu, makanya saya angkat Pak. Saya khawatir tertinggal
fadilah berjamaah, pak. Kata Bapak kan pahalanya 27 derajat.”
“Ya Allah….” Pak Sabar sambil
menepuk jidatnya.
Tidak sampai di situ, cerita aneh
yang lain juga terjadi saat Pak Sabar dan Shodrun berangkat umroh. Jangan
ditanya bagaimana berduanya kok bisa umroh bareng. Ceritanya panjang
kali lebar. Singkatnya keduanya dapat doorprize undian umroh yang
diadakan oleh Kemenag ketika jalan sehat dalam rangka Hari Amal Bakti
Kementerian Agama. Kebetulan Pak Sabar mendapat hadiah utama yakni umroh
gratis. Sedangkan Shodrun dapat voucher umroh 10 juta. Orang tua Shodrun
bahagia sekali dan langsung melunasi sisa pembayaran umroh anaknya. “Mumpung
Shodrun bisa berangkat umroh bareng guru agamanya. Ada yang membimbing
langsung. Kalau berangkat dengan kami, kami tidak bisa membimbingnya,” ucap ibu
Shodrun.
Berangkatlah Pak Sabar dan Shodrun
bersama para jamaah umroh lain. Sesampainya di sana, mereka melakukan rangkaian
ibadah umroh dimulai dengan miqat sampai dengan tahalul. Dasarnya Shodrun adalah
anak yang hiperaktif, ia sering berpisah dari rombongan. Tak jarang ia berulah
sehingga meninggalkan jamaah yang lain.
Kejadian unik terulang ketika
tawaf. Awalnya Shodrun dengan para jamaah memulai thawaf bersama-sama. Namun, belum
sampai satu putaran, Shodrun sudah menghilang. “Ya Allah, semoga anak ini tidak
hilang,” doa Pak Sabar pasrah sambil ikut mengawasi dan membantu jamaah yang
sudah sepuh. Sesekali Pak Sabar melihat Shodrun sekelebat mata saja lalu
menghilang di kerumunan orang. Meski berdesakan, Shodrun memutari Ka’bah dengan
cepat. Maklum, dia pernah ikut lomba Porseni Cabang Atletik Lari 5.000 m waktu di
bangku Madrasah Tsanawiyah.
Ketika Pak Sabar baru memulai
putaran ketujuh, tiba-tiba ia berpapasan dengan Shodrun. Pak Sabar heran, ini anak
kok keliling Ka’bah melawan arus. Seharusnya orang thawaf itu melawan arah
jarum jam. Shodrun kok malah sebaliknya. Orang-orang sekeliling Shodrun juga
terheran-heran melihat tingkah anehnya. Sudah begitu, jalannya sambil mundur
lagi. “Shodrun…! Shodrun..!” Pak Sabar memanggil muridnya ini. Jamaah yang lain
pun ikut menoleh. Karena jaraknya cukup jauh, Shodrun tidak mendengar suara
gurunya.
Setelah menyelesaikan tujuh
putaran, Pak Sabar tidak langsung salat sunah thawaf sebagaimana jamaah yang
lain. Ia mencari anak didiknya ini. Ketemulah Shodrun berada di dekat Hijir
Isma’il. “Nak, kita menepi di belakang Maqam Ibrahim.” Setelah di tempat yang
tidak begitu ramai, Pak Sabar bertanya, “Nak kamu kenapa tadi? Orang thawaf itu
melawan arah jarum jam. Kamu kok justru sebaliknya.”
Seperti biasa, Shodrun cengengesan
dulu sebelum menjawabnya, “Iya, Pak. Awalnya saya thawaf seperti yang Bapak ajarkan.
Tapi di akhir thawaf saya baru ingat, Pak. Seharusnya, saya thawaf tujuh kali.
Ternyata lebih satu, Pak. Tadi saya keliling Ka’bah genap delapan kali. Jadi saya
kurangi satu dengan mundur balik, Pak. Agar hitungannya kembali ke tujuh lagi.”
“Masyaallah….” Pak Sabar menimpali
sambil menghirup nafas panjang. Pak Sabar hanya mengelus dada bingung mau
menjawab apa.
Di rumahnya, kala tengah
berbincang dengan sang istri Pak Sabar menceritakan pula tentang serba-serbi
tingkah Shodrun. Sang istri tersenyum geli, namun lalu menimpali, “Shodrun
beruntung, dong, Mas, punya guru seperti Mas yang sifatnya menyamai nama, Sabar.”
Pak Sabar menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil tersenyum. Tetapi yang kemudian melekat adalah ucapan sang
istri setelah itu.
“Kedengarannya, Shodrun itu murid
yang spesial, Mas… dan hanya guru spesial yang bisa mengarahkan murid spesial.”
Sang istri menepuk pundak Pak Sabar pelan, “Jadi tetap semangat ya, Pak Guru
Spesial.”
Di luar sana pun, ada banyak
Shodrun-Shodrun lain. Murid-murid spesial lain. Dan mereka menunggu untuk
bertemu dengan guru-guru spesial yang bersedia untuk mengerti keunikan-keunikan
dan mengarahkan semangat baik mereka. InsyaAllah.
Penulis: Ahmad Sarip Saputra,
M.Ag (Kepala MA Alif Laam Miim Surabaya)
Tags : Artikel Guru
MA Alif Laam Miim
“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”
- MA Alif Laam Miim
- Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
- maaliflaammiim@gmail.com
- 0813-8645-3684