Januari 19, 2023

FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN


Penulis: Muhammad Musthofa, MH. (Waka Kesiswaan MA Alif Laam Miim Surabaya)

Dalam hukum Islam, hadis menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadis sebagai sumber kedua ini ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasulullah Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa Sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadis sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

Untuk menjelaskan banyak hal yang bersifat umum dalam al-Qur’an, maka hadis memiliki peran penting dalam menuntun dan mengarahkan manusia dalam menjalankan ajaran al-Qur’an. Kata “hadis” secara bahasa dapat diartikan “baru” (al-jadid), yang merupakan lawan kata dari al-qadim (lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita yang disandarkan kepada Nabi, karena pembaruannya sebagai perimbangan dengan berita yang terkandung dalam al-Qur’an yang sifatnya qadim. Dengan demikian hadis memiliki peran yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam sebagai sumber hukum atau penjelasan dari sumber hukum yang ada dalam al-Qur’an.  Dalam hal ini penulis ingin mengulas fungsi hadis terhadap al-Qur’an meliputi aspek hadis sebagai muqarir, mubayyin dan musbit-nya.

 

      Pengertian Hadis

Kata Hadis berasal dari  kata “al-Hadis”, jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadis selama ini. Dari segi bahasa kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama).  Bisa diartikan pula sebagai al-khabar (berita) dan al-qarib (sesuatu yang dekat).

Hadis secara harfiah dapat diartikan sebagai perkataan (sabda), percakapan, atau perbuatan. Sedangkan secara terminologi, Hadist didefinisikan sebagai catatan yang bersumber dari pernyataan dan tingkah laku Nabi Muhammad Saw yang dijadikan landasan syariat Islam. Ahli hadis dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadis. Di kalangan ulama hadis sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada juga yang mendefinisikan hadis, adalah: "Sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan hal ihwalnya (taqrir)”.

 

       Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

       Fungsi Muqarrir

Muqorrir atau Bayân taqrir ialah al-Hadis yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan mengokohkan apa yang telah ditetapkan al-Qur`ân, sehingga maknanya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Abdul Wahab Khalaf mengatakan yang di maksud sunnah muqarrir  atau sunnah mu’ayyadh  adalah sunnah yang  menetapkan dan menguatkan hukum yang di bawah al-Qur’an, sehingga hukum itu mempunyai dua sumber dan dua dalil, ayat al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Sebagian ulama menyebut bayân ta’qîd atau bayaân taqrîr. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an. Misalnya, suatu hadis yang meriwayatkan tentang shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Maka hadis tersebut juga diperkuat dalam al-Qur’an.  Semisal firman Allah Swt:

فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya:  “Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan maka hendaklah berpuasa. (QS: Al-Baqarah, 185).

 

Kemudian ditegaskan atau dikokohkan oleh sabda Rasulullah Saw:

صُومُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

Artinya:Puasalah kalian karena melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena melihat tanda awal bulan syawal. HR. Muslim.”

 

Maka dapat dikatakan hadis di atas bayân taqrîr terhadap ayat al-Qurân, karena maknanya sama dengan al-Qur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.

 

       Fungsi Mubayyin

      Adapaun yang dimaksud dengan mubayyin adalah hadis berfungsi untuk menerangkan ayat-ayat yang sangat umum (‘am), global (mujmal), dan kesaman makna (musytarak) dengan memberikan perincian penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang masih belum terbatasi (muthlaq), dan memberikan kekhususan (takhshih) ayat-ayat yang masih umum (‘am).

Abd Wahab Khalaf mendefinisikan dengan sunnah yang memerinci dan menjelaskan kegelobalan hukum yang dibawa al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan men-takhsis keumumanya. Penjelasan, pembatasan, dan pentakhsisan sunnah terhadap al-Qur’an adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an, karena Allah memberikan hak kepada Rasulullah untuk menjelaskan makna al-Qur’an.

Jadi, bila memandang pengertian di atas maka bayan takhshis dan bayan taqyid termasuk dalam katagori bayan tafsir. Di antara contoh bayan tafsir  ini adalah:

1)  Bayan Tafsir Mujmal adalah seperti hadis yang menerangkan ke mujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah Swt untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan salat, namun al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara salat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban salat tersebut dijelaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

        Artinya:    Salatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.”(H.R. Bukhari)

 

 

 

 

 

2)     Bayan Tafsir Musytarak Fihi, adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah Swt berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: al-Baqarah [228])

 

  Untuk menjelaskan lafal quru’ ini, dapat dijelaskan dengan hadis Nabi Saw berikut ini,

طَلَاقُ الْأَمَةِ اثْنَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ

Artinya: “Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid.” (H.R. Ibnu Majah)

 

Sehingga arti kata perkataan quru’ dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas berarti suci dari haid.

 

3)     Bayan Tafsir Taqyid adalah sifat mutlaq ayat al-Qur’an yang antara lain

       yaitu :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya :“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Maidah: 38)

 

Ayat di atas belum menjelaskan berapa batasan harta yang dikenakan had sariqah. Kemudian ada bayan atau penjelas dari Nabi Saw:

لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّـارِقِ إِلَّافِيْ رُبُعِ دِيْنَـارٍ فَصـَاعِدًا

Artinya: “Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian sebilai) seperempat dinar atau lebih.” (H.R: Muslim)

 

4)    Bayan Tafsir Takhshis keumuman ayat-ayat al-Qur’an adalah hadis Nabi Saw, berikut ini.

لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْـأً

Artinya: “Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (HR. Abi Dawud)

 

Hadis tersebut men-takhshis keumuman firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa [11]. yaitu:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (QS: An-Nisa’ [11])

 

Fungsi Musbit

Abdul wahab khallaf, mengatakan bahwa yang dimaksud adalah sunnah yang menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an, sehingga hukum itu ditetapkan berdasarkan dalil sunnah, bukan al-Qur’an. Abu Zahrah menambahkan bahwa sunnah tersebut datang pada suatu hukum yang di dalam al-Qur’an tidak menegaskan dan hukum tersebut bukan menambah terhadap nash al-Qur’an.

Di dalam ilmu hadis yang lain, disebut dengan bayan tasyri’ adalah ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an maka dimunculkan hukumnya, baik yang tidak ada sama sekali atau yang diketemukan pokok-pokoknya (ashl) saja.

Hadis termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadis penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam wanita pezinah yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Salah satu contoh yang lain adalah hadis tentang hukum zakat fitrah sebagai berikut;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Artinya:  “Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadlan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.” (H. R Muslim)

 

Dalam hadis ini al-Qur’an tidak menyebutkan prihal zakat fitrah, al-Qur’an hanya menyebutkan masalah zakat dalam beberapa hal. Berikut penulis sajikan ayat-ayat yang berkaitan tentang zakat:

1.      Perintah Membayar Zakat, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah Al-Baqarah (2):43],  [Surah Al-Hajj (22):78], [Surah An-Nur (24):56].

2.      Perintah mengelurkan zakat perdagangan dan zakat pertanian, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah Al-Baqarah (2):267].

3.      Perintah mengeluarkan zakat perkebunan, dijelaskan oleh al-Qur’an pada: [Surah Al-An’am (6):141]. 

4.      Membayar zakat salah satu ciri orang yang beriman, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah Al-Anfal (8):2-3].

5.      Orang berzakat mendapat pahala, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah Al-Baqarah (2):277],  [Surah Ar-Rum (30):39].

6.      Sanksi bagi yang tidak membayar zakat emas dan perak, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah At-Taubah (9):34-35].

7.      Sikap orang munafik atas pembagain zakat, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah At-Taubah (9):58].

8.      Orang-orang yang berhak menerima zakat, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah At-Taubah (9):60]. 

9.      Anjuran mengambil zakat dari orang kaya, dijelaskan oleh al-Qur’an pada : [Surah At-Taubah (9):103].

 

Sembilan ayat di atas tidak satupun berbicara tentang kewajiban menunaikan zakat fitrah, sehingga hukum wajib zakat fitrah didasarkan sebuah hadis karena al-Qur’an tidak secara jelas menjelaskan hukum tersebut.

 

Simpulan dari apa yang telah penulis uraikan adalah hukum yang dibawah oleh sunnah itu ada yang menetapkan hukum dalam al-Qur’an, ada yang menjelaskan hukum dalam al-Qur’an, dan ada juga hukum baru yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an, atau dengan menerapkan dasar-dasar umum yang digunakan oleh al-Qur’an. Dari sini akan tampak jelas bahwa tidak mungkin ada perbedaan apalagi kontradiksi atas hukum yang ada dalam al-Qur’an dengan al-Sunnah.

Sekian, Wa’ allahu ‘Alamu bi-Shawab

 

 

Referensi :

Abd. Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakartat: Darul Kutib Al-Islamiyyah, 2010

Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al-Farisi, Jawahir al-Usul al-Hadist fi Ilmi hadist al-Rasul Bairut, Libanon. 1992

Abu Dawud bin al-As’as bin Ishaq bin Basyir, Sunan Abi Dawud, Bairut: Maktabah al-Misriyyah, Tth

Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum,Ponorogo: Jurnal, 2011.

Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadist, Bandung: Psutaka Setia. 2009

Badri Khaeruman, Ulum al-Hadist Bandung: Pustaka Setia, 2010

Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahanya, Bandung: Jabal Raudah Al-Jannah, 2010

Ibn Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazawainiy, Sunan Ibn Majah, Mekah: Dar Ihya al-Kutub al- ‘Arabiyah, Tth

Muhammad Abu zahrah, Ushul Fikih, , Madinah: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 2012

Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqi al-Haqqi min Ilmi Ushul, Kairo: Darus Salam, 2006

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-J’afiy, Sahih al-Bukhari, Damaskus: Dar Thaqa Al-Najah, Tth

Munzier Suprapta, Ilmu Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2013.

Muslim bin Hajaj Abu Al-Hasan Alqusyariy An-Nasaiburiy , Shahih Muslim, Bairut: Dar-Ihya’ al-Turas,Tth

Muslim bin Hajaj Abu Al-Hasan Alqusyariy An-Nasaiburiy , Shahih Muslim, Juz 3, 1312

Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Ayat-Ayat al-Qur’an, Jakarta: PT. BIP, 2014

  

Tags :

bm

MA Alif Laam Miim

“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”

  • MA Alif Laam Miim
  • Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
  • maaliflaammiim@gmail.com
  • 0813-8645-3684