HIFDH AL-BĪʻAH SEBAGAI BAGIAN DARI MAQĀṢID AL-SHARĪ’AH
Penulis : Ahmad Sarip Saputra, S.Pd., M.Ag (Kamad MA Alif Laam Miim Surabaya)
Pendahuluan
Salah satu persoalan yang sangat serius di masa kini baik pada
skala global maupun nasional adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh kelalaian dan ketidakmampuan manusia mengelola alam dan lingkungan di
sekitarnya.[1]
Penggunaan dan pembuangan gas emisi yang berlebihan baik yang berasal dari
pabrik (perusahaan) maupun dari alat-alat transportasi, penggunaan alat alat
rumah tangga yang mengeluarkan CO2 yang berlebihan serta penebangan liar
terhadap hutan (illegal logging) memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap kerusakan lingkungan. Saat ini
permasalahan lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan individu atau
satu-dua negara saja, namun telah menjadi tanggung jawab bersama seluruh
manusia di dunia. Al-Gore dalam bukunya An Inconvenieth Truth: The Crisis of
Global Warming mengingatkan manusia akan bahaya yang akan muncul dari
fenomena pemanasan global (globar warming).[2]
Berbagai upaya telah dilakukan guna mengantisipasi akan krisis
lingkungan ini. Indonesia sendiri telah mengesahkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang kemudian disempurnakan dengan diundangkannya
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kemudian terdapat undang-undang yang terbaru, yaitu
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Meski undang-undang telah mendukung upaya antisipatif terhadap
perlingungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pada kenyataannya dalam
aplikasina belum bias diimplementasikan secara maksimal. Lingkungan yang sehat
dan bersih masih jauh dari harapan. Padahal, hidup sehat berawal dari
lingkungan yang sehat pula. Maka dari sinilah bisa dimengerti bahwa betapa
pentingnya mengubah cara berfikir, tidak semata saintis, tetapi juga etis dan
teologis.[3]
Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk terlibat dalam
menyelesaikan permasalahan lingkungan adalah mengkajinya melalui pendekatan
agama. Sejauh ini agama belum dianggap memiliki kontribusi yang cukup dalam
penanggulangan krisis global. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pendekatan
agama penting untuk dilakukan. Pertama, terbatasnya sumber daya yang disediakan
oleh alam. Kedua, keseimbangan adalah prinsip utama dalam penciptaan alam
semesta dan saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Ketiga, paham
materialistic dan kurangnya hubungan antara manusia dan alam menjadikan manusia
cenderung mendevaluasi alam.[4] Di
Indonesia, pendekatan agama dalam konteks pemeliharaan lingkungan menjadi
penting karena memang faktanya Indonesia adalah Negara dengan penduduka yang
mayoritas beragama Islam. [5]
Yusuf al-Qardhawi adalah salah satu pakar Islam yang mencoba
menggali dan meneliti teks-teks agama yang dikaitkan dengan lingkungan. Dalam
kapasitasnya sebagai ulama yang peduli lingkungan, dia telah menuangkan
berbagai pemikirannya tentang lingkungan hidup dalam sebuah karyanya yang
berjudul Ri’āyat al-bīʻah fi Sharī’ah al-Islām.[6] Menurut
Yusuf al–Qarḍāwy, menjaga lingkungan hidup (hifdh al-bīʻah) sama dengan menjaga jiwa (hifdh al-nafs),
menjaga akal (hifdh al-‘aql), menjaga
keturunan (hifdh al-nasl), dan menjaga
harta (hifdh al-māl). Rasionalitasnya adalah bahwa jika
aspek–aspek jiwa, akal, keturunan, dan harta rusak, maka eksistensi manusia
dalam lingkungan menjadi ternoda.[7] Al-Qarḍāwy menggunakan istilah hifdh al-bīʻah
sebagai konsiderasi dalam merumuskan konsep fikih lingkungannya. Bagi
kalangan akedemisi Islam, khususnya dalam bidang maqāṣid al-sharī’ah,
berkat pemikiran Yūsuf al-Qarḍāwy ini telah dianggap berkontribusi penting
dalam pengembangan perluasan cakupan maqāṣid al-sharī’ah.[8]
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin
menjawab pertanyaan Bagaimana pandangan Yūsuf Al-Qarḍāwy tentang fikih
lingkungan di dalam kitab Ri’āyat al-Bīʻah fi Sharī’at al-Islām? Bagaimana pandangan Yūsuf Al-Qarḍāwy tentang hifdh al-biah sebagai
bagian dari maqāsid al-sharī’ah?
PEMBAHASAN
Maqashid al-Shariah
Secara etimologi, term al-maqṣid (plural: al-maqāshid) bermakna al-hadf (objective), al-gharaḍu (principle),
al-maṭlūb (intent)
dan al-ghāyah (goal).
Kata al-maqṣid dalam bahasa
Inggris semakna dengan end, telos dalam bahasa Greek-Yunani, finalite
dalam bahasa Perancis, dan zweck dalam bahasa Jerman.[9] Sedangkan
secara terminologi, para pakar memberikan definisi dengan redaksi yang berbeda namun mengacu pada esensi yang sama.
Al-Ghazali menyebut Maqāṣid al-sharīʻah dengan
istilah mahlahah. Beliau mengatakan
الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ
فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ
ذَلِكَ ، فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ
وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ ، لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ
الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ وَمَقْصُودُ الشَّرْعِ مِنْ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ
: وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ
وَمَالَهُمْ ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ
مَصْلَحَةٌ ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا
مَصْلَحَةٌ.
Maṣlaḥah adalah suatu ungkapan yang pada dasarnya bermakna memperoleh
manfaat dan menolak bahaya. Namun yang kami maksud bukanlah demikian, karena
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan
makhluk adalalah tercapainya tujuan-tujuan dari makhluk itu. Yang kami maksud
dengan maslahat adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara terhadap makhluk ada
lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Maka, setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini,
merupakan maslahat. Sementara setiap sesuatu yang menghilangkan lima hal ini,
merupakan mafsadah.[10]
Al-Shaṭiby tidak secara tegas
mendefinisikan istilah maqāṣid al-sharīʻah. Ia lebih menekankan kepada
tujuan dari maqāṣid al-sharīʻah itu, yaitu untuk kemaslahatan hidup di
dunia dan akhirat.[11] Allāl al-Fāsy mendefinisikan maqāshid al-sharīʻah dengan tujuan akhir dan
rahasia-rahasia yang dicanangkan syariat di balik setiap ketentuan hukumnya.”[12] Senada dengan definisi Allāl al-Fāsy, Ibnu ‘Ashūr menyatakan bahwa maqāshid
al-sharīʻah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang senantiasa menjadi
perhatian Shāriʻ dalam seluruh atau sebagian besar pensyariatan hukum.”[13] Dari beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa maqāshid sharīʻah adalah rahasia, makna, dan hikmah yang berada di balik
setiap ketentuan hukum yang disyariatkan Allah. Sebagian ahli fikih
berpandangan bahwa maqāṣid al-sharīʻah semakna dan sinonim dengan al-mashālih.[14]
Abdul Malik al-Juwaini (w. 478 H/ 1185 M) adalah salah satu ulama yang
menggunakan istilah al-maqāshid dan al-mashālih al-‘āmmah
dalam arti yang semakna.[15]
Ramadhan Al-Būṭy dalam kitab Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fi al-Sharī’ah
al-Islāmiyyah menjelaskan secara lebih rinci lima kriteria
agar maslahat dapat dijadikan dalil sebuah hukum. Pertama, masuk
dalam cakupan al-maqāṣid al-sharīʻah yang lima.[16]
Kedua, tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an. Ketiga, tidak
bertentangan dengan nash al-Sunnah. Abd Wahhāb Khallāf menegaskan bahwa
sunah yang bisa dijadikan hujah oleh kaum muslimin dan wajib untuk diikuti
adalah jika muncul dari Nabi dalam konteks Nabi berstatus sebagai seorang rasul
yang berujuan untuk sumber pensyariatan suatu hukum.[17]
Keempat, tidak bertentangan dengan qiyas. Kelima, tidak bertentangan dengan maṣlaḥah
lain yang tingkatannya lebih tinggi atau bobotnya lebih kuat dan mendesak.[18]
Untuk
mewujudkan kemaslahatan ini, maka harus diperhatikan lima hal pokok, yaitu
agama, jiwa, akal, keturuan, dan harta. Lima hal inilah yang dinakaman
maslhahat atau disebut sebagai kulliyāt al-khams.[19]
Terjadi perbedaan pandangan di antara ulama klasik dalam hal jumlah pasti yang
masuk dalam kategori dharuriyat.[20]
Adapun perkembangan selanjutnya, banyak para pakar utamanya maqāshidiyyūn
mengembangkan konsep kulliyāt al-khams. Keadilan, kesetaraan,
kemerdekaan, sosial, ekonomi dan politik menjadi isu dalam pengembangan maqāṣid
al-sharīʻah. Konsep lima hal pokok tersebut tidak lain merupakan konsep
yang ditawarkan oleh al-Ghazāly.[21]
Al-Qardhawi adalah salah seorang ulama yang menolak pembagian kulliyat al-khams
hanya pada lima hal. Pembagian seperti itu hanyalah focus kepada kemaslahatan
individu seseorang. [22]
Hal senada juga disampaikan oleh Jamal Athiyah.[23]
Ekologi
perspektif Maqāṣid al-Sharīʻah
Thaha Jabir al-Alwani memasukkan tema
relasi antara agama dan ekologi. Ia merumuskan tiga esensi tujuan maqāṣid
yang kemudian disebut sebagai al-maqāṣid al-sharīʻah al-ʻUlya (maqashid
peringkat tinggi), yaitu tawhid (monotheis), tazkiyah
(pensucian), dan umran (peradaban). Dimensi ‘umran menyentuh
kepada dimensi alam semesta sehingga menutun manusia untuk senantiasa
melestarikan alam dan terus menjaganya dengan baik sebagai wujud dari tazkiyah
dan tawhid.[24]
Musthafa Abu Sway
menggunakan konsep maqāṣid al-sharīʻah untuk menyampaikan bahwa menjaga
alam dan melestarikannya adalah tujuan tertinggi syariat. Dalam pandangan Abu
Sway, komponen maqāṣid yang lima adalah dasar menuju tercapainya tujuan
tertinggi syariat yaitu keharmonisan seluruh makhluk di alam semesta. [25]
Muhammad
Syalasy dalam al-Tashrī’ al-Islāmy fi al-Hifdh ‘ala al-Bīʻah
memposisikan penjagaan terhadap lingkungan (al-hifdh ‘ala al-bī’ah)
merupakan penjamin atas terealisasinya pilar yang lima dari maqāṣid al-sharīʻah,
sehingga maqāṣid al-bī’ah memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi:
menjaga keseimbangan lingkungan (al-tawazun), mencegah perusakan alam (ifsād),
realisasi fungsi penjagaan bumi (istikhlāf), pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya alam (intifā’ wa al-tanmiyah), sarana meningkatkan iman (al-inqiyād),
menjamin keselamatan publik (al-amn al-qaumy).[26]
Konsep Etika
dan Fikih Lingkungan Yusuf Al-Qardhawi
Yusuf
al-Qardhawi merupakan salah satu ulama kontemporer yang berfikiran progresif
dalam agama Islam. Ulama kelahiran di Shafat Turab Mesir ini,
menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam. Hal itu terbukti dari banyaknya
karya yang telah ia publikasikan baik dalam bidang fikih, ushul fikih, akhlak,
ulumul qur’an dan lain sebagainya. Meski ia dikenal sebagai tokoh ikhwanul
muslimin, namun tak jarang pikiran-pikirannya bertentangan dengan keompok ini.[27]
Tuntutan berfikir medernis yang dilakukan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy
dipengaruhi oleh realitas keadaan ketika itu, bukan disebabkan oleh kelompok
organisasi yang ia ikut di dalamnya. Di satu sisi, dalam hal pergerakan, Yūsuf
al-Qardhawi terlibat aktif dan cenderung radikal, sementara dalam hal pemikiran
fikih, ia lebih lentur dan modern.[28]
Gagasan-gagasan Yūsuf al-Qardhāwy dalam persoalan lingkungan, ia
tuangkan dalam sebuah kitab berjudul Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām.
Ia menggaris bawahi dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, Allah telah
menyediakan alam untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, kemaslahatan
manusia, dan penunjang keberlangsungan hidup manusia.[29] Kedua,
alam dengan berbagai macam jenisnya, memiliki hubungan erat anatara satu dengan
yang lain. Hubungan inilah yang menjadikan eksistensi alam terus ada. Mereka
menjalankan fungsinya asing-masing sesuai dengan ketetapan Allah.[30]
Yūsuf al-Qarḍāwy telah merumuskan beberapa etika lngkungan dalam
Islam tentang hubungan manusia dan lingkungan serta upaya manusia dalam
menjalankan misi sebagai khalīfah di muka bumi. Pertama, berbuat ramah
terhadap lingkungan yang mencakup etika manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, etika
pemeliharaan air dan etika pemeliharaan tanah. Ihsan adalah sebuah konsep yang
dijadikan landasan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy dalam menggagas konsep agama ramah
lingkungan. Islam mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk berinterkasi
makhluk hidup yang ada di sekitar dengan cara ihsan. Sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (berbuat
baik) kepada setiap sesuatu.”[31] Menurut
Yūsuf al-Qarḍāwy, istilah al-iḥsān mempunyai dua makna, yaitu al-ihkām
(melindungi) dan al-itqān (menjaga dengan sempurna) dan makna kasih sayang,
memperhatikan, menghormati dan memuliakan.[32]
Kedua, menjaga lingkungan dari perusak. Ada tida motif alasan
terjadinya perusakan lingkungan, motif kekerasan, motif amarah dan motif
sewenang-wenang. Ketiganya dilarang oleh Islam bahkan Nabi mengancam dengan
adanya siksa jika hal itu dilakukan. Ada hadis Nabi yang mengatakan, “Seorang
perempuan masuk neraka karena mengikat kucing dan tidak memerinya makan atau
membiarkannya agar mencari makan di atas bumi.”[33] Menurut
Yūsuf al-Qarḍāwy, alasan perempuan tersebut masuk neraka adalah kerasnya hati
dan kosong dari rasa kasih sayang kepada makhluk-makhluk yang lemah.[34]
Lebih jauh, Yūsuf al-Qarḍāwy memasukkan pelaku perusakan alam dengan golongan ahl
al-Thugyan (orang-orang zalim) yang mendapakan ancaman siksa di akhirat.
Ketiga, menjaga kebersihan lingkungan. Islam adalah agama yang
paling memperhatikan persoalan kebersihan karena kebersihan bukan semata-mata berfungsi
untuk kesehatan, tetapi media untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah.[35]
Yūsuf al-Qarḍāwy menganalogikan kesucian dengan salat. Jika salat adalah
pembuka pintu surga, maka kesucian adalah pembuka ibadah-ibadah rutin harian
seperti salat. Seorang muslim telah dikatakan sah melaksanakan ibadaha salat
jika ia melakukannya dalam keadaan suci dan tidak berhadas kecil atau besar.
Dari pemaparan di atas kita dapat mengetahui bahwa persoalan lingkungan merupakan moral manusia. Oleh karena itu, Yūsuf al-Qarḍāwy menitikberatkan akan pentingnya akhlak kepada lingkungan. Etika lingkungan yang ia tawarkan mengandung prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam fikih lingkungan, yaitu prinsip hormat dan kasih sayang kepada alam, prinsip tangung jawab, prinsip kesederhanaan dan prinsip keadilan.
Hifdhu al-Bi’ah sebagai Bagian
dari Maqāṣid al-Sharīʻah
Dalam kitab Ri’āyah al-Bī’ah fi Sharā’ah al-Islām, Yūsuf
al-Qarḍāwy menyampaikan bahwa ketersediaan lingkungan hidup yang baik akan
menentukan terwujudnya keseimbangan alam. Manusia harus menggunakan
prinsip-prinsip agama dalam perilaku terhadap alam agar keberlangungan dan
ketersediaan alam tetap terjaga dengan baik. Hifdh al-bi’ah (menjaga lingkungan) sama pentingnya menjaga kulliyat
al-khamas (lima dasar yang harus terpenuhi,
yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga
harta). Istilah
yang Yusuf al-Qardhawi gunakan adalah: a) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah
‘ala al-dīn (menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga agama), b) hifdh
al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala an-nafs (menjaga lingkungan merupakan
bagian dari menjaga jiwa), c) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala a-nasl
(menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga keturunan), d) hifdh
al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala al-‘aql
(menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga akal), e) hifdh al-bī’ah
min al-muḥāfadhah ‘ala al-māl
(menjaga ingkungan merupakan bagian dari menjaga harta).[36]
Hubungan antara hifdh al-bi’ah dengan kulliyat al-khamas adalah hifdh al-bi’ah sebagai wasilah untuk mewujudkan kulliyat al-khams. Artinya, pelaksanaan kulliyat al-khams tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap lingkungan. Titik dasar yang dijadikan panduan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy adalah kaidah ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب Sesuatu yang menjadi media pelaksaan keajiban maka hal itu wajib pula dilaksanakan. Meskipun menempati posisi yang sejajar, tidak lantas hifdh al-bīʻah menjadi bagian tersendiri dan terpisah dari kulliyat al-khams. Yusuf al-Qardhawi tetap memosisikan maqashid dharuriyyah hanya kepada lima hal pokok.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Yūsuf al-Qarḍāwy dalam
kitab Ri’āyat al-Bīʻah fi Sharī’at al-Islām telah merumuskan konsep
etika lingkungan yang mengatur pola hubungan manusia dengan lingkungannya yang
lebih mengedepankan aspek moral. etika lingkungan tersebut mencakup beberapa
hal yaitu, etika ramah lingkungan sekitar, etika menjaga lingkungan dari
perusakan dan etika menjaga kebersihan lingkungan. Dari rumusan tersebut,
dihasilkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan fikih lingkungan Yūsuf
al-Qarḍāwy, yaitu prinsip hormat dan kasih sayang kepada alam, prinsip tanggung
jawab, prinsip kesederhanaan dan prinsip keadilan.
Hifdh al-bi’ah sebagai bagian
dari maqāṣid al-sharīʻah telah menempati posisi yang penting sebagaimana
pentingnya kulliyat al-khams. Namun, menurut Yūsuf al-Qarḍāwy, posisi hifdh
al-bīʻah hanya sebagai wasilah untuk terwujudnya maqāṣid yang pokok,
yaitu hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al-ʻaql dan hifdh
al-māl. Artinya, kulliyāt al-khams tidak akan terwujud jika
mengabaikan wasilahnya, yaitu berupa hifdh al-bī’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006),
Al-Gore
: The Planetary Emergency Global Warming And What We Can Do About It,
(New York: Times, 2006).
Zainuddin
Maliki, Agama dan Lingkungan Hidup: Ke Arah Pembentukan Perilaku
Etis-Ekologis untuk Mengembangkan Green-Ecology, Jurnal UMM. Volume 14
Nomor 1 Januari –Juni 2011
Kempton,
W., JS. Boster & JA Hartley. 1995. An Evironmental values in American
Cultural, Cambridge: MIT Press
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah
& Undang-undang Dasar NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Yūsuf Al-Qarḍāwy (2002), Ri’āyat
al-Bi’ahfi fi Syariah al-lslam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Yūsuf
Al-Qarḍāwy, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terjemahan Abdullah Hakim Shah
(Jakarta; Pustaka Al – Kautsar: 2001)
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas,
Fiqh Al-Aqalliyāt dan Evolusi Maqāṣid al-Sharī’ah dari Konsep ke Pendekatan,
(Yogyakarta: Lkis, 2010)
Jasser Auda, Maqāsid al-Shariah as
Philoshophy of Islamic Law a Systems Appproach, (Washington: IIIT, 2008)
Abu
Hāmid Muhammad al-Ghazaly. Al-Mustaṣfā Min ʻIlm, Al-Ushūl. (Lubnan, dar
al-Huda, 1994)
Al-Shaṭiby.
Al Muwāfaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008)
Al-‘Izz
bin Abd al-Salam. Qawāʻdu al-Ahkām, (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1986)
Ahmad ar-Raysuni. Nadhariyatu Al-Maqashid ‘Inda Al-Imam Asy-Syatibi. (al-Ma’had al-Alami, li al-Fikr al-Islamiy, 1990)
Muhammad Thahir Ibnu ʻAsyur. Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. (Tunisia: Dar as-Salam, 2006)
Said Ramaḍān al-Būṭy. Dhawabith al-Maṣlaḥah fi
as-Syari’ah al-Islamiyyah. (Beirut:
Dar al-Fikr, 1997)
Jasser ‘Auda, Fiqh Al-Maqāṣid:
Inathatu Al-Ahkām Asy-Syar‘iyyati Bi Maqāṣidiha, (Virginia: IIT, 2008)
Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Uṣūl al-Fiqh. (Baerut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
2008)
Sa’ad Abd al-Rahman al-Kabisyi, Maqāṣid al-Sharīʻah fi
al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Damaskus: al-Mashriq li al-Kitāb, 2011)
Muhammad bin Aly al-Qushairy, Iḥkām al-āḥkām,
(Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1990)
Jamal
Athiyyah, Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, (Damaskus: Dar al-Fikr,
2003)
Yūsuf
al-Qarḍāwy, al-Madkhal li Dirasat Maqāṣid al-Sharīʻah, (Baerut:
Muassasah al-Risalah)
Thaha Jabir al-Alwani, Qadhaya
Islamiyah Mu’ashirah: Maqashid al-Syariah,(Beirut: Dar al-Hadi)
Mustafa
Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of The Environment, (Journal
Department of Philosophy, Al-Quds University, Jerusalem, 2002)
Muhammad
M. Syalasy, al-Tasyri’ al-Islamy fi al-Hifdz ‘ala al-Bi’ah, (Ramalah:
al-Quds Open University, 2013)
Yusuf Qardhawi. Fatwa Qardhawi :
Permasalahan,Penecahan dan Hukumannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996)
[1] A. Sonny
Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006), h. xiii
[2]
Al-Gore : The
Planetary Emergency Global Warming And What We Can Do About It, (New York:
Times, 2006).
[3] Zainuddin
Maliki, Agama dan Lingkungan Hidup: Ke Arah Pembentukan Perilaku
Etis-Ekologis untuk Mengembangkan Green-Ecology, Jurnal UMM. Volume 14
Nomor 1 Januari –Juni 2011
[4] Kempton, W.,
JS. Boster & JA Hartley. 1995. An Evironmental values in American
Cultural, Cambridge: MIT Press
[5]
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NRI 1945,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 65
[6] Yūsuf
Al-Qarḍāwy (2002), Ri’āyat al-Bi’ahfi fi Syariah al-lslam. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
[7] Yūsuf Al-Qarḍāwy,
Islam Agama Ramah Lingkungan, Terjemahan Abdullah Hakim Shah (Jakarta;
Pustaka Al – Kautsar: 2001), h. 46.
[8]
maqāṣid al-sharī’ah mengalami perkembangan dari masa ke masa dengan berbagai tokoh
yang muncul. Diantara tokoh yang sering dikaitkan dengan perkembangan ilmu maqāṣid al-sharī’ah adalah turmudzi al-hakim, al-ghazali, al-syathibi dan Ibnu
Asyur.Tumurdzi al-hakim merupakan ulama pertama yang memunculkan istilah maqāṣid al-sharī’ah dalam kitabnya yang berjudul maqashid al-shalah. Al-Ghazali,[8] yaitu
ulama pertama yang mengenalkan istilah hifdu al-dīn, hifdu al-nafs, hifdu
al-‘aql, hifdu al-nasl, dan hifdu al-māl meski saat itu
istilah yang pakai oleh Al-Ghazali adalah maṣlahat. Setelah era
Al-Ghazali maqāṣid al-sharī’ah mengalami perkembangan meski tidak
signifikan. Ilmu maqāṣid al-sharī’ah menemukan bentuk yang lebih jelas
dan lebih kepada aplikasinya pada saat kemuunculan al-Shāṭiby. Al-Syhatibhi
mencoba menggeser maqāṣid al-sharī’ah dari hanya sebuah konsep-konsep
menjadi sebuah landasan metodologi yang aktif dan dinamis. Perkembangan maqāṣid
al-sharī’ah semakin menemukan momentumnya tatkala kehadiran Ibn ‘Ashūr. Di
samping melengkapi apa yang telah digagas oleh pendahulunya, yaitu al-Shāṭiby,
Ibn ‘Ashūr mencoba merumuskan hal baru yang belum pernah disinggung oleh ulama maqāṣidiyyūn
sebelumnya. Ia berani menempatkan hurriyah (kebebasan) sebagai bagian
penting dari unsur-unsur aplikasi maqāṣid al-sharī’ah. Ahmad Imam Mawardi, Fiqh
Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyāt dan Evolusi Maqāṣid al-Sharī’ah dari Konsep ke
Pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 194; Ibnu ‘Asyur, Maqāṣid
al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, (Amman: dār an-Nafā’is, 2001), hlm. 114
[9] Jasser Auda, Maqāsid
al-Shariah as Philoshophy of Islamic Law a Systems Appproach, (Washington: IIIT, 2008) h. 2.
[10] Abu Hāmid
Muhammad al-Ghazaly. Al-Mustaṣfā Min ʻIlm, Al-Ushūl. (Lubnan, dar
al-Huda, 1994) juz I, h. 481. Dalam definisi ini, ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, maqashid tidak berhubungan dengan hal yang bersidat
fitri dan naluri, melainkan ditetapkan oleh syara’. Hal ini dilkuatkan oleh
pernyataan al-Syathibi dalam banyak kesempatan, bahwa maslahah bertujuan untuk
tegaknya kehidupan dunia dan akhirat, bukan untuk memenuhi kemaslahatan hawa
nafsu yang bersifat kebiasaan. Kedua, Al-Ghazali menjelaskan cara untuk
menetapkan kemaslahatan, yaitu dengan melalui alquran, alsunnah, dan ijmak.
Al-izz bin abd al-salam mengatakan secara tegas bahwa maslahat dan mafsadat
tidak bisa ditetapkan kecuali melalui syara’. Lihat, Al-Shaṭiby. Al
Muwāfaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008) juz 2, h. 37.; Al-‘Izz
bin Abd al-Salam. Qawāʻdu al-Ahkām, (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1986) juz 2, 29
[11] Al-Shaṭiby. Al
Muwafaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008). Juz 2, h. 221.
[12] Ahmad ar-Raysuni. Nadhariyatu
Al-Maqashid ‘Inda Al-Imam Asy-Syatibi. (al-Ma’had al-Alami, li al-Fikr al-Islamiy, 1990) h. 18
[13] Muhammad Thahir Ibnu ʻAsyur. Maqashid
Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. (Tunisia: Dar as-Salam, 2006) h. 39
[14]
Al-mashālih adalah jamak dari kata al-maṣlaḥah yang berarti
al-khair (kebaikan) atau al-manfa’ah (kemanfaatan). Al-Maṣlaḥah secara bahasa juga bermakna kebalikan al-mafsadah
yang berarti kerusakan. Kata ‘maslahat’ (dalam Bahasa Indonesia) dialihkan dari
Bahasa Arab “al-maṣlaḥah” yang berawal dari kata dasar صَلَحَ – يَصْلَح, yang berarti kebalikan fasada
(kerusakan). Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ‘maslahat’ dengan “sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, faidah atau guna”. Jadi, kemaslahatan adalah kegunaan,
kebaikan, manfaat, dan kepentingan. Namun, secara terminologi, ulama uṣūl fiqh berbeda pendapat
mengenai pengertian dan batasan maṣlaḥah. Tetapi pada tataran
esensi, mereka tetap bermuara pada satu kesimpulan bahwa maṣlaḥah adalah
suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif
(manfaat) serta menghindarkan dari hal-hal yang berdimensi negatif (mudharat). Said Ramaḍān al-Būṭy. Dhawabith al-Maṣlaḥah fi as-Syari’ah
al-Islamiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) juz 2, h. 27.; Ahmad ar-Raisuni. Nazhariyah al-Maqāṣid 'inda as-Shāṭiby. h. 234.
[15] Jasser ‘Auda, Fiqh Al-Maqāṣid: Inathatu Al-Ahkām
Asy-Syar‘iyyati Bi Maqāṣidiha, (Virginia: IIT, 2008) h. 17.
[16] Al-Būṭy, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fi Sharīʻat al-Islām, h. 119. Kelima hal tersebut yaitu
menjaga agama (hifh al-din), nyawa (hifdh al-nafs), harta,
keturunan (hifdh al-nasl), akal (hifdh al-‘aql) dan harta (hifdh
al-mal) atau yang sering diistilahkan dengan al-ḍarūriyyat al-khams atau
kulliyat al-khams.
[17] Abd Wahhāb Khallāf, ʻIlmu Uṣūl al-Fiqh, h. 41. Lebih lanjut, Abd
Wahhāb Khallāf menyebutkan, ada 3 kondisi Nabi, baik perkataan atau perbuatan
yang tidak berimplikasi kepada pensyariatan sebuah hukum. Pertama, segala
hal yang muncul dari nabi dalam bentuk perwujudan dari sifat naluri sebagai
seorang manusia, seperti makan, minum dan tidur. Namun jika ada dalil yang
menunjukkan keteladanan sebagai Nabi, maka hal itu bisa menjadi syariat karena
adanya dalil tersebut. Kedua, seuatu yang muncul dari Nabi dalam hal
pengalaman-pengalaman pada suatu urusan dunia, seperti teknik peperangan, berdagang
dan pengobatan. Ketiga, segala sesuatu yang muncul dari nabi dalam kapasitasya
sebagai seorang utusan, namun ada dalil yang menunjukkan khusus untuk Nabi saja
dan bukan untuk diikuti, seperti menikah lebih dari empat istri..
[18] Ibid., 248.
[19] Sa’ad Abd
al-Rahman al-Kabisyi, Maqāṣid al-Sharīʻah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah,
(Damaskus: al-Mashriq li al-Kitāb, 2011) h. 77
[20]
Al-Amidy yang hidup pada abad ke tujuh
hijriyah menyatakan dengan tegas bahwa ḍarūriyyat hanya terbatas kepada
5 hal, tidak lebih dari itu. Sementara Ibnu Taimiyah (w. 728 h) mengatakan
bahwa maqāṣid al-sharīʻah yang terbatas kepada lima hal pokok adalah
maqashid dalam perspektif dar’u al-mafasid (menolak mafsadat). Padalah Maqāṣid
al-sharīʻah mencakup dua hal, disamping dar’u al-mafasid, juga harus
mencakup jalb al-mashalih. Oleh karena itu, Ibnu taimiyyah membagi maqashid
menjadi dua bagian, maqashid dunia dan maqashid akhirat. Muhammad bin
Aly al-Qushairy, Iḥkām al-āḥkām, (Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1990)
juz 3, h. 300.
[21] Jamal
Athiyyah, Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, (Damaskus: Dar al-Fikr,
2003) h. 98.
[22] Yūsuf al-Qarḍāwy,
al-Madkhal li Dirasat Maqāṣid al-Sharīʻah, (Baerut: Muassasah
al-Risalah) h. 74-75. Ulama yang tidak
setuju dengan pendapat Yusuf Al-Qardhawi memberikan argumentasi bahwa sosial
masyarakat terbentuk dari individ-individu yang mempunyai hubungan satu dengan
yang lainnya. Jika setiap orang bisa menjaga kemaslahatan-kemaslahatan
individunya, maka bisa dipastikan tatanan social masyarakat akan menjadi baik.
Ibid., h. 26.
[23] Jamal Athiyyah,
Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, h. 103-105. Dalam aplikasinya, Ia tidak membatasi kulliyat
hanya pada lima hal. Lebih lanjut, ia mencoba merubah orientasi maqashid
yang semula pada kulliyat al-khams dan hanya bersifat personal, menjadi
empat tahapan, yaitu maqashid al-fard (individu), maqashid al-usrah
(keluarga), maqashid al-ummah (masyarakat), dan maqashid
al-insaniyyah (kemanusiaan).
[24] Thaha Jabir
al-Alwani, Qadhaya Islamiyah Mu’ashirah: Maqashid al-Syariah,(Beirut:
Dar al-Hadi), 2001, 145-158.
[25] Mustafa Abu
Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of The Environment, (Journal
Department of Philosophy, Al-Quds University, Jerusalem, 2002) 34.
[26] Muhammad M.
Syalasy, al-Tasyri’ al-Islamy fi al-Hifdz ‘ala al-Bi’ah, (Ramalah:
al-Quds Open University, 2013) 22.
[27] Yusuf
al-Qardhawi mengatakan bahwa pembaharuan dalam hukum Islam sangat penting.
Menurutnya, kelompok yang menolak akan pembaruan Islam merupakan orang-orang
yang tidak paham betul akan tujuan agama Islam dan kurang mengetahui akan
persoalan-persoalan global. Begitu pula kaum modernis yang terlalu ekstrim.
Baginya, kelompok ini juga tidak sesuai dengan spirit dan cita-cita Islam. Yang
diinginkan Ysuf al-Qarḍāwy adalah pembaruan Islam yang bersifat moderta dan
dalam batasan-batasan Islam. Yusuf Qardhawi. Fatwa Qardhawi : Permasalahan,Penecahan
dan Hukumannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 400.
[28] Zuhairi
Misrawi, Jurnal Tashwirul Afkar, h. 12.
[29] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. (Baerut: Dar al-Shurūq, 2001) h.
12.
[30] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h.14
[31] Al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi, (Baeurt: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998) juz 2, h 431;
[32] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 120
[33] Shahih Bukhari,
juz 3, h 112 hadis serupa berbunyi
عُذِّبَتِ
امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ،
لاَ هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا، إِذْ حَبَسَتْهَا، وَلاَ هِيَ
تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ
[34] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 143
[35] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 75. Salah satu cara mudah
mengetahui bahwa Islam sangat memperhatikan kebersihan adalah melihat kitab-kitab
yang membahas hukum-hukum syariat. Mayoritas, kitab-kitab tersebut diawali
dengan pembahasan thaharah (bersesuci). Seorang muslim harus mengetahui
kebersihan dan kesucian sebelum ia melakukan ritual ibadah. Tujuannya agar
ibadah yang ia lakukan memenuhi syarat dan rukun secara sempurna sehingga
dihukumi sah. Banyak ibadah-ibadah dalam Islam yang mensyaratkan kesucian,
seperti salat, thawaf, membaca al-Quran dan lain-lain.
[36] Yūsuf al-Qarḍāwy.
Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 47-51
Tags : Artikel Guru
MA Alif Laam Miim
“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”
- MA Alif Laam Miim
- Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
- maaliflaammiim@gmail.com
- 0813-8645-3684