Januari 17, 2023

HIFDH AL-BĪʻAH SEBAGAI BAGIAN DARI MAQĀṢID AL-SHARĪ’AH

 
Penulis : Ahmad Sarip Saputra, S.Pd., M.Ag (Kamad MA Alif Laam Miim Surabaya)

Pendahuluan

Salah satu persoalan yang sangat serius di masa kini baik pada skala global maupun nasional adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kelalaian dan ketidakmampuan manusia mengelola alam dan lingkungan di sekitarnya.[1] Penggunaan dan pembuangan gas emisi yang berlebihan baik yang berasal dari pabrik (perusahaan) maupun dari alat-alat transportasi, penggunaan alat alat rumah tangga yang mengeluarkan CO2 yang berlebihan serta penebangan liar terhadap hutan (illegal logging) memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kerusakan lingkungan.  Saat ini permasalahan lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan individu atau satu-dua negara saja, namun telah menjadi tanggung jawab bersama seluruh manusia di dunia. Al-Gore dalam bukunya An Inconvenieth Truth: The Crisis of Global Warming mengingatkan manusia akan bahaya yang akan muncul dari fenomena pemanasan global (globar warming).[2]

Berbagai upaya telah dilakukan guna mengantisipasi akan krisis lingkungan ini. Indonesia sendiri telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian disempurnakan dengan diundangkannya Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian terdapat undang-undang yang terbaru, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski undang-undang telah mendukung upaya antisipatif terhadap perlingungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pada kenyataannya dalam aplikasina belum bias diimplementasikan secara maksimal. Lingkungan yang sehat dan bersih masih jauh dari harapan. Padahal, hidup sehat berawal dari lingkungan yang sehat pula. Maka dari sinilah bisa dimengerti bahwa betapa pentingnya mengubah cara berfikir, tidak semata saintis, tetapi juga etis dan teologis.[3]

Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk terlibat dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan adalah mengkajinya melalui pendekatan agama. Sejauh ini agama belum dianggap memiliki kontribusi yang cukup dalam penanggulangan krisis global. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa pendekatan agama penting untuk dilakukan. Pertama, terbatasnya sumber daya yang disediakan oleh alam. Kedua, keseimbangan adalah prinsip utama dalam penciptaan alam semesta dan saling berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Ketiga, paham materialistic dan kurangnya hubungan antara manusia dan alam menjadikan manusia cenderung mendevaluasi alam.[4] Di Indonesia, pendekatan agama dalam konteks pemeliharaan lingkungan menjadi penting karena memang faktanya Indonesia adalah Negara dengan penduduka yang mayoritas beragama Islam. [5]

Yusuf al-Qardhawi adalah salah satu pakar Islam yang mencoba menggali dan meneliti teks-teks agama yang dikaitkan dengan lingkungan. Dalam kapasitasnya sebagai ulama yang peduli lingkungan, dia telah menuangkan berbagai pemikirannya tentang lingkungan hidup dalam sebuah karyanya yang berjudul Ri’āyat al-bīʻah fi Sharī’ah al-Islām.[6] Menurut Yusuf al–Qarḍāwy, menjaga lingkungan hidup (hifdh al-bīʻah) sama dengan menjaga jiwa (hifdh al-nafs), menjaga akal (hifdh al-‘aql), menjaga keturunan (hifdh al-nasl), dan menjaga harta (hifdh al-māl). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek–aspek jiwa, akal, keturunan, dan harta rusak, maka eksistensi manusia dalam lingkungan menjadi ternoda.[7] Al-Qarḍāwy menggunakan istilah hifdh al-bīʻah sebagai konsiderasi dalam merumuskan konsep fikih lingkungannya. Bagi kalangan akedemisi Islam, khususnya dalam bidang maqāṣid al-sharī’ah, berkat pemikiran Yūsuf al-Qarḍāwy ini telah dianggap berkontribusi penting dalam pengembangan perluasan cakupan maqāṣid al-sharī’ah.[8]

Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin menjawab pertanyaan Bagaimana pandangan Yūsuf Al-Qarḍāwy tentang fikih lingkungan di dalam kitab Ri’āyat al-Bīʻah fi Sharī’at al-Islām? Bagaimana pandangan Yūsuf Al-Qarḍāwy tentang hifdh al-biah sebagai bagian dari maqāsid al-sharī’ah?

PEMBAHASAN

Maqashid al-Shariah

Secara etimologi, term al-maqid (plural: al-maqāshid) bermakna al-hadf (objective), al-gharau (principle), al-malūb (intent) dan al-ghāyah (goal). Kata al-maqid dalam bahasa Inggris semakna dengan end, telos dalam bahasa Greek-Yunani, finalite dalam bahasa Perancis, dan zweck dalam bahasa Jerman.[9] Sedangkan secara terminologi, para pakar memberikan definisi dengan redaksi yang berbeda namun mengacu pada esensi yang sama.

Al-Ghazali menyebut Maqāṣid al-sharīʻah dengan istilah mahlahah. Beliau mengatakan

الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِي الْأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ ، وَلَسْنَا نَعْنِي بِهِ ذَلِكَ ، فَإِنَّ جَلْبَ الْمَنْفَعَةِ وَدَفْعَ الْمَضَرَّةِ مَقَاصِدُ الْخَلْقِ وَصَلَاحُ الْخَلْقِ فِي تَحْصِيلِ مَقَاصِدِهِمْ ، لَكِنَّا نَعْنِي بِالْمَصْلَحَةِ الْمُحَافَظَةَ عَلَى مَقْصُودِ الشَّرْعِ وَمَقْصُودُ الشَّرْعِ مِنْ الْخَلْقِ خَمْسَةٌ : وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِينَهُمْ وَنَفْسَهُمْ وَعَقْلَهُمْ وَنَسْلَهُمْ وَمَالَهُمْ ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظَ هَذِهِ الْأُصُولِ الْخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ ، وَكُلُّ مَا يُفَوِّتُ هَذِهِ الْأُصُولَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ.

 

Maṣlaḥah adalah suatu ungkapan yang pada dasarnya bermakna memperoleh manfaat dan menolak bahaya. Namun yang kami maksud bukanlah demikian, karena mendatangkan manfaat dan menolak bahaya adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan makhluk adalalah tercapainya tujuan-tujuan dari makhluk itu. Yang kami maksud dengan maslahat adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara terhadap makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa,  akal, keturunan dan harta. Maka, setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini, merupakan maslahat. Sementara setiap sesuatu yang menghilangkan lima hal ini, merupakan mafsadah.[10]

 

Al-Shaṭiby tidak secara tegas mendefinisikan istilah maqāṣid al-sharīʻah. Ia lebih menekankan kepada tujuan dari maqāṣid al-sharīʻah itu, yaitu untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[11] Allāl al-Fāsy mendefinisikan maqāshid al-sharīʻah dengan tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang dicanangkan syariat di balik setiap ketentuan hukumnya.”[12] Senada dengan definisi Allāl al-Fāsy, Ibnu ‘Ashūr menyatakan bahwa maqāshid al-sharīʻah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang senantiasa menjadi perhatian Shāriʻ dalam seluruh atau sebagian besar pensyariatan hukum.”[13] Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa maqāshid sharīʻah adalah rahasia, makna, dan hikmah yang berada di balik setiap ketentuan hukum yang disyariatkan Allah. Sebagian ahli fikih berpandangan bahwa maqāṣid al-sharīʻah semakna dan sinonim dengan al-mashālih.[14] Abdul Malik al-Juwaini (w. 478 H/ 1185 M) adalah salah satu ulama yang menggunakan istilah al-maqāshid dan al-mashālih al-‘āmmah dalam arti yang semakna.[15]

Ramadhan Al-Būṭy dalam kitab awābiṭ al-Maṣlaḥah fi al-Sharī’ah al-Islāmiyyah menjelaskan secara lebih rinci lima kriteria agar maslahat dapat dijadikan dalil sebuah hukum. Pertama, masuk dalam cakupan al-maqāṣid al-sharīʻah yang lima.[16] Kedua, tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an. Ketiga, tidak bertentangan dengan nash al-Sunnah. Abd Wahhāb Khallāf menegaskan bahwa sunah yang bisa dijadikan hujah oleh kaum muslimin dan wajib untuk diikuti adalah jika muncul dari Nabi dalam konteks Nabi berstatus sebagai seorang rasul yang berujuan untuk sumber pensyariatan suatu hukum.[17] Keempat, tidak bertentangan dengan qiyas. Kelima, tidak bertentangan dengan maṣlaḥah lain yang tingkatannya lebih tinggi atau bobotnya lebih kuat dan mendesak.[18]

Untuk mewujudkan kemaslahatan ini, maka harus diperhatikan lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturuan, dan harta. Lima hal inilah yang dinakaman maslhahat atau disebut sebagai kulliyāt al-khams.[19] Terjadi perbedaan pandangan di antara ulama klasik dalam hal jumlah pasti yang masuk dalam kategori dharuriyat.[20] Adapun perkembangan selanjutnya, banyak para pakar utamanya maqāshidiyyūn mengembangkan konsep kulliyāt al-khams. Keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, sosial, ekonomi dan politik menjadi isu dalam pengembangan maqāṣid al-sharīʻah. Konsep lima hal pokok tersebut tidak lain merupakan konsep yang ditawarkan oleh al-Ghazāly.[21] Al-Qardhawi adalah salah seorang ulama yang menolak pembagian kulliyat al-khams hanya pada lima hal. Pembagian seperti itu hanyalah focus kepada kemaslahatan individu seseorang. [22] Hal senada juga disampaikan oleh Jamal Athiyah.[23]

Ekologi perspektif Maqāṣid al-Sharīʻah

Thaha Jabir al-Alwani memasukkan tema relasi antara agama dan ekologi. Ia merumuskan tiga esensi tujuan maqāṣid yang kemudian disebut sebagai al-maqāṣid al-sharīʻah al-ʻUlya (maqashid peringkat tinggi), yaitu tawhid (monotheis), tazkiyah (pensucian), dan umran (peradaban). Dimensi ‘umran menyentuh kepada dimensi alam semesta sehingga menutun manusia untuk senantiasa melestarikan alam dan terus menjaganya dengan baik sebagai wujud dari tazkiyah dan tawhid.[24]

Musthafa Abu Sway menggunakan konsep maqāṣid al-sharīʻah untuk menyampaikan bahwa menjaga alam dan melestarikannya adalah tujuan tertinggi syariat. Dalam pandangan Abu Sway, komponen maqāṣid yang lima adalah dasar menuju tercapainya tujuan tertinggi syariat yaitu keharmonisan seluruh makhluk di alam semesta. [25]

Muhammad Syalasy dalam al-Tashrī’ al-Islāmy fi al-Hifdh ‘ala al-Bīʻah memposisikan penjagaan terhadap lingkungan (al-hifdh ‘ala al-bī’ah) merupakan penjamin atas terealisasinya pilar yang lima dari maqāṣid al-sharīʻah, sehingga maqāṣid al-bī’ah memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi: menjaga keseimbangan lingkungan (al-tawazun), mencegah perusakan alam (ifsād), realisasi fungsi penjagaan bumi (istikhlāf), pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam (intifā’ wa al-tanmiyah), sarana meningkatkan iman (al-inqiyād), menjamin keselamatan publik (al-amn al-qaumy).[26]

Konsep Etika dan Fikih Lingkungan Yusuf Al-Qardhawi

Yusuf al-Qardhawi merupakan salah satu ulama kontemporer yang berfikiran progresif dalam agama Islam. Ulama kelahiran di Shafat Turab Mesir ini, menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam. Hal itu terbukti dari banyaknya karya yang telah ia publikasikan baik dalam bidang fikih, ushul fikih, akhlak, ulumul qur’an dan lain sebagainya. Meski ia dikenal sebagai tokoh ikhwanul muslimin, namun tak jarang pikiran-pikirannya bertentangan dengan keompok ini.[27] Tuntutan berfikir medernis yang dilakukan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy dipengaruhi oleh realitas keadaan ketika itu, bukan disebabkan oleh kelompok organisasi yang ia ikut di dalamnya. Di satu sisi, dalam hal pergerakan, Yūsuf al-Qardhawi terlibat aktif dan cenderung radikal, sementara dalam hal pemikiran fikih, ia lebih lentur dan modern.[28]

Gagasan-gagasan Yūsuf al-Qardhāwy dalam persoalan lingkungan, ia tuangkan dalam sebuah kitab berjudul Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. Ia menggaris bawahi dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, Allah telah menyediakan alam untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, kemaslahatan manusia, dan penunjang keberlangsungan hidup manusia.[29] Kedua, alam dengan berbagai macam jenisnya, memiliki hubungan erat anatara satu dengan yang lain. Hubungan inilah yang menjadikan eksistensi alam terus ada. Mereka menjalankan fungsinya asing-masing sesuai dengan ketetapan Allah.[30]

Yūsuf al-Qarḍāwy telah merumuskan beberapa etika lngkungan dalam Islam tentang hubungan manusia dan lingkungan serta upaya manusia dalam menjalankan misi sebagai khalīfah di muka bumi. Pertama, berbuat ramah terhadap lingkungan yang mencakup etika manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, etika pemeliharaan air dan etika pemeliharaan tanah. Ihsan adalah sebuah konsep yang dijadikan landasan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy dalam menggagas konsep agama ramah lingkungan. Islam mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk berinterkasi makhluk hidup yang ada di sekitar dengan cara ihsan. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (berbuat baik) kepada setiap sesuatu.”[31] Menurut Yūsuf al-Qarḍāwy, istilah al-iḥsān mempunyai dua makna, yaitu al-ihkām (melindungi) dan al-itqān (menjaga dengan sempurna) dan makna kasih sayang, memperhatikan, menghormati dan memuliakan.[32]

Kedua, menjaga lingkungan dari perusak. Ada tida motif alasan terjadinya perusakan lingkungan, motif kekerasan, motif amarah dan motif sewenang-wenang. Ketiganya dilarang oleh Islam bahkan Nabi mengancam dengan adanya siksa jika hal itu dilakukan. Ada hadis Nabi yang mengatakan, “Seorang perempuan masuk neraka karena mengikat kucing dan tidak memerinya makan atau membiarkannya agar mencari makan di atas bumi.”[33] Menurut Yūsuf al-Qarḍāwy, alasan perempuan tersebut masuk neraka adalah kerasnya hati dan kosong dari rasa kasih sayang kepada makhluk-makhluk yang lemah.[34] Lebih jauh, Yūsuf al-Qarḍāwy memasukkan pelaku perusakan alam dengan golongan ahl al-Thugyan (orang-orang zalim) yang mendapakan ancaman siksa di akhirat.

Ketiga, menjaga kebersihan lingkungan. Islam adalah agama yang paling memperhatikan persoalan kebersihan karena kebersihan bukan semata-mata berfungsi untuk kesehatan, tetapi media untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.[35] Yūsuf al-Qarḍāwy menganalogikan kesucian dengan salat. Jika salat adalah pembuka pintu surga, maka kesucian adalah pembuka ibadah-ibadah rutin harian seperti salat. Seorang muslim telah dikatakan sah melaksanakan ibadaha salat jika ia melakukannya dalam keadaan suci dan tidak berhadas kecil atau besar.

Dari pemaparan di atas kita dapat mengetahui bahwa persoalan lingkungan merupakan moral manusia. Oleh karena itu, Yūsuf al-Qarḍāwy menitikberatkan akan pentingnya akhlak kepada lingkungan. Etika lingkungan yang ia tawarkan mengandung prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam fikih lingkungan, yaitu prinsip hormat dan kasih sayang kepada alam, prinsip tangung jawab, prinsip kesederhanaan dan prinsip keadilan.

Hifdhu al-Bi’ah sebagai Bagian dari Maqāṣid al-Sharīʻah

Dalam kitab Ri’āyah al-Bī’ah fi Sharā’ah al-Islām, Yūsuf al-Qarḍāwy menyampaikan bahwa ketersediaan lingkungan hidup yang baik akan menentukan terwujudnya keseimbangan alam. Manusia harus menggunakan prinsip-prinsip agama dalam perilaku terhadap alam agar keberlangungan dan ketersediaan alam tetap terjaga dengan baik. Hifdh al-bi’ah (menjaga lingkungan) sama pentingnya menjaga kulliyat al-khamas (lima dasar yang harus terpenuhi, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga harta). Istilah yang Yusuf al-Qardhawi gunakan adalah: a) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala al-dīn (menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga agama), b) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala an-nafs (menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga jiwa), c) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala a-nasl (menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga keturunan), d) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala  al-‘aql (menjaga lingkungan merupakan bagian dari menjaga akal), e) hifdh al-bī’ah min al-muḥāfadhah ‘ala  al-māl (menjaga ingkungan merupakan bagian dari menjaga harta).[36]

Hubungan antara hifdh al-bi’ah dengan kulliyat al-khamas adalah hifdh al-bi’ah sebagai wasilah untuk mewujudkan kulliyat al-khams. Artinya, pelaksanaan kulliyat al-khams tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak memperhatikan pemeliharaan terhadap lingkungan. Titik dasar yang dijadikan panduan oleh Yūsuf al-Qarḍāwy adalah kaidah ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب Sesuatu yang menjadi media pelaksaan keajiban maka hal itu wajib pula dilaksanakan. Meskipun menempati posisi yang sejajar, tidak lantas hifdh al-bīʻah menjadi bagian tersendiri dan terpisah dari kulliyat al-khams. Yusuf al-Qardhawi tetap memosisikan maqashid dharuriyyah hanya kepada lima hal pokok.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Yūsuf al-Qarḍāwy  dalam kitab Ri’āyat al-Bīʻah fi Sharī’at al-Islām telah merumuskan konsep etika lingkungan yang mengatur pola hubungan manusia dengan lingkungannya yang lebih mengedepankan aspek moral. etika lingkungan tersebut mencakup beberapa hal yaitu, etika ramah lingkungan sekitar, etika menjaga lingkungan dari perusakan dan etika menjaga kebersihan lingkungan. Dari rumusan tersebut, dihasilkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan fikih lingkungan Yūsuf al-Qarḍāwy, yaitu prinsip hormat dan kasih sayang kepada alam, prinsip tanggung jawab, prinsip kesederhanaan dan prinsip keadilan.

Hifdh al-bi’ah sebagai bagian dari maqāṣid al-sharīʻah telah menempati posisi yang penting sebagaimana pentingnya kulliyat al-khams. Namun, menurut Yūsuf al-Qarḍāwy, posisi hifdh al-bīʻah hanya sebagai wasilah untuk terwujudnya maqāṣid yang pokok, yaitu hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al-ʻaql dan hifdh al-māl. Artinya, kulliyāt al-khams tidak akan terwujud jika mengabaikan wasilahnya, yaitu berupa hifdh al-bī’ah.

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006),

Al-Gore : The Planetary Emergency Global Warming And What We Can Do About It, (New York: Times, 2006).

Zainuddin Maliki, Agama dan Lingkungan Hidup: Ke Arah Pembentukan Perilaku Etis-Ekologis untuk Mengembangkan Green-Ecology, Jurnal UMM. Volume 14 Nomor 1 Januari –Juni 2011

Kempton, W., JS. Boster & JA Hartley. 1995. An Evironmental values in American Cultural, Cambridge: MIT Press

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)

Yūsuf Al-Qarḍāwy (2002), Ri’āyat al-Bi’ahfi fi Syariah al-lslam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Yūsuf Al-Qarḍāwy, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terjemahan Abdullah Hakim Shah (Jakarta; Pustaka Al – Kautsar: 2001)

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyāt dan Evolusi Maqāṣid al-Sharī’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010)

Jasser Auda, Maqāsid al-Shariah as Philoshophy of Islamic Law a Systems Appproach,  (Washington: IIIT, 2008)

Abu Hāmid Muhammad al-Ghazaly. Al-Mustaṣfā Min ʻIlm, Al-Ushūl. (Lubnan, dar al-Huda, 1994)

Al-Shaṭiby. Al Muwāfaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008)

Al-‘Izz bin Abd al-Salam. Qawāʻdu al-Ahkām, (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986)

Ahmad ar-Raysuni. Nadhariyatu Al-Maqashid ‘Inda Al-Imam Asy-Syatibi. (al-Ma’had al-Alami, li al-Fikr al-Islamiy, 1990)

Muhammad Thahir Ibnu ʻAsyur. Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. (Tunisia: Dar as-Salam, 2006)

Said Ramaḍān al-Būṭy. Dhawabith al-Maṣlaḥah fi as-Syari’ah al-Islamiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997)

Jasser ‘Auda, Fiqh Al-Maqāṣid: Inathatu Al-Ahkām Asy-Syar‘iyyati Bi Maqāṣidiha, (Virginia: IIT, 2008)

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Uṣūl al-Fiqh. (Baerut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008)

Sa’ad Abd al-Rahman al-Kabisyi, Maqāṣid al-Sharīʻah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Damaskus: al-Mashriq li al-Kitāb, 2011)

Muhammad bin Aly al-Qushairy, Iḥkām al-āḥkām, (Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1990)

Jamal Athiyyah, Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003)

Yūsuf al-Qarḍāwy, al-Madkhal li Dirasat Maqāṣid al-Sharīʻah, (Baerut: Muassasah al-Risalah)

Thaha Jabir al-Alwani, Qadhaya Islamiyah Mu’ashirah: Maqashid al-Syariah,(Beirut: Dar al-Hadi)

Mustafa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of The Environment, (Journal Department of Philosophy, Al-Quds University, Jerusalem, 2002)

Muhammad M. Syalasy, al-Tasyri’ al-Islamy fi al-Hifdz ‘ala al-Bi’ah, (Ramalah: al-Quds Open University, 2013)

Yusuf Qardhawi. Fatwa Qardhawi : Permasalahan,Penecahan dan Hukumannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996)

Zuhairi Misrawi, Jurnal Tashwirul Afkar, (Jakarta : Lakpesdam NU, 200)


[1] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006), h. xiii

[2] Al-Gore : The Planetary Emergency Global Warming And What We Can Do About It, (New York: Times, 2006).

[3] Zainuddin Maliki, Agama dan Lingkungan Hidup: Ke Arah Pembentukan Perilaku Etis-Ekologis untuk Mengembangkan Green-Ecology, Jurnal UMM. Volume 14 Nomor 1 Januari –Juni 2011

[4] Kempton, W., JS. Boster & JA Hartley. 1995. An Evironmental values in American Cultural, Cambridge: MIT Press

[5] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah & Undang-undang Dasar NRI 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 65

[6] Yūsuf Al-Qarḍāwy (2002), Ri’āyat al-Bi’ahfi fi Syariah al-lslam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

[7] Yūsuf Al-Qarḍāwy, Islam Agama Ramah Lingkungan, Terjemahan Abdullah Hakim Shah (Jakarta; Pustaka Al – Kautsar: 2001), h. 46.

[8] maqāṣid al-sharī’ah mengalami perkembangan dari masa ke masa dengan berbagai tokoh yang muncul. Diantara tokoh yang sering dikaitkan dengan perkembangan ilmu maqāṣid al-sharī’ah adalah turmudzi al-hakim, al-ghazali, al-syathibi dan Ibnu Asyur.Tumurdzi al-hakim merupakan ulama pertama yang memunculkan istilah maqāṣid al-sharī’ah dalam kitabnya yang berjudul maqashid al-shalah. Al-Ghazali,[8] yaitu ulama pertama yang mengenalkan istilah hifdu al-dīn, hifdu al-nafs, hifdu al-‘aql, hifdu al-nasl, dan hifdu al-māl meski saat itu istilah yang pakai oleh Al-Ghazali adalah maṣlahat. Setelah era Al-Ghazali maqāṣid al-sharī’ah mengalami perkembangan meski tidak signifikan. Ilmu maqāṣid al-sharī’ah menemukan bentuk yang lebih jelas dan lebih kepada aplikasinya pada saat kemuunculan al-Shāṭiby. Al-Syhatibhi mencoba menggeser maqāṣid al-sharī’ah dari hanya sebuah konsep-konsep menjadi sebuah landasan metodologi yang aktif dan dinamis. Perkembangan maqāṣid al-sharī’ah semakin menemukan momentumnya tatkala kehadiran Ibn ‘Ashūr. Di samping melengkapi apa yang telah digagas oleh pendahulunya, yaitu al-Shāṭiby, Ibn ‘Ashūr mencoba merumuskan hal baru yang belum pernah disinggung oleh ulama maqāṣidiyyūn sebelumnya. Ia berani menempatkan hurriyah (kebebasan) sebagai bagian penting dari unsur-unsur aplikasi maqāṣid al-sharī’ah. Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, Fiqh Al-Aqalliyāt dan Evolusi Maqāṣid al-Sharī’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm. 194; Ibnu ‘Asyur, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, (Amman: dār an-Nafā’is, 2001), hlm. 114

[9] Jasser Auda, Maqāsid al-Shariah as Philoshophy of Islamic Law a Systems Appproach,  (Washington: IIIT, 2008) h. 2.

[10] Abu Hāmid Muhammad al-Ghazaly. Al-Mustaṣfā Min ʻIlm, Al-Ushūl. (Lubnan, dar al-Huda, 1994) juz I, h. 481. Dalam definisi ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, maqashid tidak berhubungan dengan hal yang bersidat fitri dan naluri, melainkan ditetapkan oleh syara’. Hal ini dilkuatkan oleh pernyataan al-Syathibi dalam banyak kesempatan, bahwa maslahah bertujuan untuk tegaknya kehidupan dunia dan akhirat, bukan untuk memenuhi kemaslahatan hawa nafsu yang bersifat kebiasaan. Kedua, Al-Ghazali menjelaskan cara untuk menetapkan kemaslahatan, yaitu dengan melalui alquran, alsunnah, dan ijmak. Al-izz bin abd al-salam mengatakan secara tegas bahwa maslahat dan mafsadat tidak bisa ditetapkan kecuali melalui syara’. Lihat, Al-Shaṭiby. Al Muwāfaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008) juz 2, h. 37.; Al-‘Izz bin Abd al-Salam. Qawāʻdu al-Ahkām, (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) juz 2, 29

[11] Al-Shaṭiby. Al Muwafaqat. (Barut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008). Juz 2, h. 221.

[12] Ahmad ar-Raysuni. Nadhariyatu Al-Maqashid ‘Inda Al-Imam Asy-Syatibi. (al-Ma’had al-Alami, li al-Fikr al-Islamiy, 1990) h. 18

[13] Muhammad Thahir Ibnu ʻAsyur. Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. (Tunisia: Dar as-Salam, 2006) h. 39

[14] Al-mashālih adalah jamak dari kata al-maṣlaḥah yang berarti al-khair (kebaikan) atau al-manfa’ah (kemanfaatan). Al-Maṣlaḥah secara bahasa juga bermakna kebalikan al-mafsadah yang berarti kerusakan. Kata ‘maslahat’ (dalam Bahasa Indonesia) dialihkan dari Bahasa Arab “al-maṣlaḥah” yang berawal dari kata dasar صَلَحَ – يَصْلَح, yang berarti kebalikan fasada (kerusakan). Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ‘maslahat’ dengan “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faidah atau guna”. Jadi, kemaslahatan adalah kegunaan, kebaikan, manfaat, dan kepentingan. Namun, secara terminologi, ulama uṣūl fiqh berbeda pendapat mengenai pengertian dan batasan malaah. Tetapi pada tataran esensi, mereka tetap bermuara pada satu kesimpulan bahwa maṣlaḥah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan dari hal-hal yang berdimensi negatif (mudharat). Said Ramaḍān al-Būṭy. Dhawabith al-Maṣlaḥah fi as-Syari’ah al-Islamiyyah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) juz 2, h. 27.; Ahmad ar-Raisuni. Nazhariyah al-Maqāṣid 'inda as-Shāṭiby. h. 234.

[15] Jasser ‘Auda, Fiqh Al-Maqāṣid: Inathatu Al-Ahkām Asy-Syar‘iyyati Bi Maqāṣidiha, (Virginia: IIT, 2008) h. 17.

[16] Al-Būṭy, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fi Sharīʻat al-Islām, h. 119. Kelima hal tersebut yaitu menjaga agama (hifh al-din), nyawa (hifdh al-nafs), harta, keturunan (hifdh al-nasl), akal (hifdh al-‘aql) dan harta (hifdh al-mal) atau yang sering diistilahkan dengan al-ḍarūriyyat al-khams atau kulliyat al-khams.

[17] Abd Wahhāb Khallāf, ʻIlmu Uṣūl al-Fiqh, h. 41. Lebih lanjut, Abd Wahhāb Khallāf menyebutkan, ada 3 kondisi Nabi, baik perkataan atau perbuatan yang tidak berimplikasi kepada pensyariatan sebuah hukum. Pertama, segala hal yang muncul dari nabi dalam bentuk perwujudan dari sifat naluri sebagai seorang manusia, seperti makan, minum dan tidur. Namun jika ada dalil yang menunjukkan keteladanan sebagai Nabi, maka hal itu bisa menjadi syariat karena adanya dalil tersebut. Kedua, seuatu yang muncul dari Nabi dalam hal pengalaman-pengalaman pada suatu urusan dunia, seperti teknik peperangan, berdagang dan pengobatan. Ketiga, segala sesuatu yang muncul dari nabi dalam kapasitasya sebagai seorang utusan, namun ada dalil yang menunjukkan khusus untuk Nabi saja dan bukan untuk diikuti, seperti menikah lebih dari empat istri..

[18] Ibid., 248.

[19] Sa’ad Abd al-Rahman al-Kabisyi, Maqāṣid al-Sharīʻah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Damaskus: al-Mashriq li al-Kitāb, 2011) h. 77

[20] Al-Amidy yang hidup pada abad ke tujuh hijriyah menyatakan dengan tegas bahwa ḍarūriyyat hanya terbatas kepada 5 hal, tidak lebih dari itu. Sementara Ibnu Taimiyah (w. 728 h) mengatakan bahwa maqāṣid al-sharīʻah yang terbatas kepada lima hal pokok adalah maqashid dalam perspektif dar’u al-mafasid (menolak mafsadat). Padalah Maqāṣid al-sharīʻah mencakup dua hal, disamping dar’u al-mafasid, juga harus mencakup jalb al-mashalih. Oleh karena itu, Ibnu taimiyyah membagi maqashid menjadi dua bagian, maqashid dunia dan maqashid akhirat. Muhammad bin Aly al-Qushairy, Iḥkām al-āḥkām, (Kairo: Maktabah al-Salafiyyah, 1990) juz 3, h. 300.

[21] Jamal Athiyyah, Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2003) h. 98.

[22] Yūsuf al-Qarḍāwy, al-Madkhal li Dirasat Maqāṣid al-Sharīʻah, (Baerut: Muassasah al-Risalah) h. 74-75.  Ulama yang tidak setuju dengan pendapat Yusuf Al-Qardhawi memberikan argumentasi bahwa sosial masyarakat terbentuk dari individ-individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Jika setiap orang bisa menjaga kemaslahatan-kemaslahatan individunya, maka bisa dipastikan tatanan social masyarakat akan menjadi baik. Ibid., h. 26.

[23] Jamal Athiyyah, Nahw Taf’īl al-Maqāṣid al-Sharīʻah, h. 103-105. Dalam aplikasinya, Ia tidak membatasi kulliyat hanya pada lima hal. Lebih lanjut, ia mencoba merubah orientasi maqashid yang semula pada kulliyat al-khams dan hanya bersifat personal, menjadi empat tahapan, yaitu maqashid al-fard (individu), maqashid al-usrah (keluarga), maqashid al-ummah (masyarakat), dan maqashid al-insaniyyah (kemanusiaan).

[24] Thaha Jabir al-Alwani, Qadhaya Islamiyah Mu’ashirah: Maqashid al-Syariah,(Beirut: Dar al-Hadi), 2001, 145-158.

[25] Mustafa Abu Sway, Towards an Islamic Jurisprudence of The Environment, (Journal Department of Philosophy, Al-Quds University, Jerusalem, 2002) 34.

[26] Muhammad M. Syalasy, al-Tasyri’ al-Islamy fi al-Hifdz ‘ala al-Bi’ah, (Ramalah: al-Quds Open University, 2013) 22.

[27] Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa pembaharuan dalam hukum Islam sangat penting. Menurutnya, kelompok yang menolak akan pembaruan Islam merupakan orang-orang yang tidak paham betul akan tujuan agama Islam dan kurang mengetahui akan persoalan-persoalan global. Begitu pula kaum modernis yang terlalu ekstrim. Baginya, kelompok ini juga tidak sesuai dengan spirit dan cita-cita Islam. Yang diinginkan Ysuf al-Qarḍāwy adalah pembaruan Islam yang bersifat moderta dan dalam batasan-batasan Islam. Yusuf Qardhawi. Fatwa Qardhawi : Permasalahan,Penecahan dan Hukumannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 400.

[28] Zuhairi Misrawi, Jurnal Tashwirul Afkar, h. 12.

[29] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. (Baerut: Dar al-Shurūq, 2001) h. 12.

[30] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h.14

[31] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Baeurt: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998) juz 2, h 431;

[32] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 120

[33] Shahih Bukhari, juz 3, h 112 hadis serupa berbunyi

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لاَ هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلاَ سَقَتْهَا، إِذْ حَبَسَتْهَا، وَلاَ هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الأَرْضِ

[34] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 143

[35] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 75. Salah satu cara mudah mengetahui bahwa Islam sangat memperhatikan kebersihan adalah melihat kitab-kitab yang membahas hukum-hukum syariat. Mayoritas, kitab-kitab tersebut diawali dengan pembahasan thaharah (bersesuci). Seorang muslim harus mengetahui kebersihan dan kesucian sebelum ia melakukan ritual ibadah. Tujuannya agar ibadah yang ia lakukan memenuhi syarat dan rukun secara sempurna sehingga dihukumi sah. Banyak ibadah-ibadah dalam Islam yang mensyaratkan kesucian, seperti salat, thawaf, membaca al-Quran dan lain-lain.

[36] Yūsuf al-Qarḍāwy. Riʻāyat al-Bīʻah fi Sharīʻat al-īslām. h. 47-51

Tags :

bm

MA Alif Laam Miim

“Terwujudnya Generasi Rabbani yang Berjiwa Dai, Berwawasan Global, dan Peduli Lingkungan”

  • MA Alif Laam Miim
  • Kebonsari Baru Selatan No. 1 Surabaya
  • maaliflaammiim@gmail.com
  • 0813-8645-3684